Pengunaan kata Komering untuk menyebut sungai dan penduduk yang mendiami wilayah tersebut belum diketahui pasti kapan mulai digunakan.
Dari masa Kerajaan Sriwijaya abad 7 Masehi sampai pada masa Kesultanan Palembang abad 17 sungai dan daerah sekitarnya belum disebut komering, daerah ini disebut dengan “Minanga”. Dalam bahasa komering (proto Melayu purba) Minanga berarti muara sungai.
Pada masa kedatangan It-Shing seorang Pendeta Buddha dari Cina ke kerajaan Sriwijaya tahun 671 Masehi, Sungai Komering masih bermuara ke laut dengan Minanga sebagai pusat kota terletak di muara sungai. Sedangkan pada masa kesultanan palembang (abad ke 17) sungai Komering sudah bermuara ke sungai Musi seperti sekarang ini.
Perubahan muara sungai ini terjadi karena proses sedimentasi daerah pantai timur Sumatera dan perubahan alur aliran sungai tersebut.
Nama Minanga sebagai nama tempat sudah ada sebelum Van Rokel membaca prasasti kedukan bukit tahun 1924. Oleh karena itu nama Minanga di Komering Ulu itu bukanlah mencontoh kebesaran nama dalam prasasti kedukan bukit.
Hal tersebut terlihat dalam suatu piagam perjanjian tahun 1629 dengan memakai tulisan Arab-Melayu oleh kesultanan Palembang yang pada waktu itu berkuasa Sedaing Kenayan, mengenai tapal batas Marga Minanga.
Piagam tersebut masih tersimpan sebagai dokumen Marga Semendawai Suku III Kabupaten OKU Timur.
Kata “Komering” mulai dipopulerkan oleh bangsa Belanda dengan sebutan “khemering” dari kata Kembiring yang diartikan juga dengan makhluk sakti semacam harimau jadi-jadian.
Sampai sekarang belum ditemukan literatur yang menghubungkan penyebutan Khemering oleh Bangsa Belanda dengan Makam Komering Singh. Meskipun nama Komering terlanjur melekat, tapi sebagian orang berpendapat suku yang mendiami sepanjang sungai Komering lebih tepat disebut suku Semendawai.
Kelompok Samanda di way atau dengan dialek sekarang menjadi Semendawai, selanjutnya disebut Komering, adalah kelompok masyarakat yang mendiami mulai dari hulu (Muaradua) hingga di muara (Minanga).
Pada awalnya adalah kelompok masyarakat kecil yang bermigrasi dari pegunungan turun mengikuti aliran sungai, kemudian mereka berpencar mencari tempat-tempat strategis untuk menetap dan mendirikan ke Puhyangan. Diantaranya Puhyangan Ratu Sabibul pendiri daerah Gunung Batu (Manusia Gunung).
Puhyang Kai Patih Kandi pendiri daerah Maluway/ Manduway, berarti petunjuk arah sungai. Puhyang Minak Ratu Damang Bing pendiri daerah Minanga (Muara).
Kemudian menyusul kelompok kedua yang turun gunung adalah: Puhyang Umpu Sipandang pendiri daerah Gunung Terang yang berarti orang gunung menempati tempat yang terang (Padang rumput). Puhyang Minak Adi Pati, pendiri daerah Pemuka Peliung.
Kegemaran Puhyang tersebut membawa peliung, sejenis kampak, sehingga daerah ini dinamakan Pemuka Peliung.
Sekitar abad ke 13 pernah terjadi Perang Abung, perang antara marga Semendawai dengan marga Abung Lampung, setelah perang abung berakhir ada kepuhyangan baru yaitu: Puhyang Ratu Penghulu, pendiri daerah Banton. Puhyang Umpu Ratu, pendiri daerah Pulau Negara. Puhyang Jati Keramat, pendiri daerah Bunga Mayang. Puhyang Sibala Kuang /Puhyang Daya, pendiri daerah Mahanggin terdiri dari Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap.
Selain itu Perang Abung juga menjadi cikal bakal terbentuknya suku Kayuagung yang mendiami wilayah baru di hilir sungai. Pada periode ini pula diperkiraan aliran atau alur sungai Komering sudah mengalami perubahan sehingga muara sungai tidak lagi di Minanga tetapi terus kearah Gunung Batu, Kayuagung dan bermuara di Sungai Musi.