Tiga nama menguasai dunia berita tiga bulan terakhir: Israel, Gaza, Indonesia. "Nama Indonesia selalu disebut karena ada rumah sakit kami, RS Indonesia, di Gaza," ujar dokter Sarbini Abdul Murad, ketua presidium MER-C.
Waktu muncul gagasan membangun RS di Gaza itu sebenarnya belum tahu dari mana uangnya. Begitulah umumnya masjid dibangun. Di mana-mana. Juga di kampung Anda.
Tapi begitu gagasan diumumkan tidak bisa mundur lagi. Harus ada yang ke Gaza. Harus tahu di mana RS akan dibangun.
Maka dokter Ben –panggilan sehari-hari dokter Sarbini– ke sana. Ia berbekal surat rekomendasi dari Prof Dr Siti FadillahSupari, menteri kesehatan saat itu. Dokter Ben punya gambaran, dengan surat itu bisa mudah bertemu menteri kesehatan di sana.
BACA JUGA:Gaza Ben
BACA JUGA:Bunuh Diri
Tidak mudah. Nama MER-C belum dikenal. Ditambah pemerintahan Palestina sendiri belum stabil. Faksi-faksi di Palestina sering bergesekan. Dokter Ben tidak bisa bertemu siapa-siapa. Tapi ia bertemu banyak orang non pemerintah.
Setidaknya dr Ben sudah tahu Gaza. Tahu medan. Pulang dari Gaza gagasan membangun rumah sakit kian kuat. Dikirim lagi delegasi MER-C ke sana.
Juga berbekal surat Menkes Siti Fadilla. Beliau memang dekat dengan kalangan aktivis muda Islam.
Kali ini mereka berhasil bertemu menkes Palestina di Gaza. Bahkan didapat isyarat baik. Maka buru-buru diketiklah naskah MoU. Mumpung beliau mau.
BACA JUGA:Ikut Anastasia
BACA JUGA:Ikut Cahaya
Menkes Palestina pun tanda tangan. Toh Anda tahu MoU tidak punya dampak hukum apa-apa. Tapi dengan MoU itu MER-C punya senjata untuk pengumpulan dana. Kalau ditanya seberapa serius rencana itu, bisa dijawab: sudah ada MoU dengan pemerintah Palestina.
Tonggak penting berikutnya adalah –tetap– Siti Fadillah. Dalam pertemuan menteri kesehatan negara-negara Islam, Siti Fadillah memasukkan program MER-C itu dalam agenda.
Siti Fadillah juga menemui menkes Palestina. Jadilah rencana itu serius. Pemerintah Palestina menjanjikan bersedia menyediakan tanahnya.