Direktur Bina Haji Kemenag Arsyad Hidayat menjelaskan lebih detail soal istitoah kesehatan tersebut.
Sesuai dengan ketetapan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dikeluarkan beberapa hari lalu. Secara garis besar, Arsyad mengatakan ada empat kriteria hasil pemeriksaan kesehatan JCH.
’’Pertama adalah ketika selesai cek kesehatan, dinyatakan istitoah,’’ katanya. JCH yang seperti ini bisa melakukan pelunasan ketika masanya dibuka nanti.
Siskohat Kesehatan milik Kemenkes langsung mengirim data ke Siskohat Kemenag.
Kriteria kedua adalah JCH dinyatakan istitoah dengan pendampingan. Arsyad mengatakan pendampingan ini bisa berupa obat atau didampingi orang lain.
JCH yang dinyatakan istitoah dengan pendampingan ini juga tetap bisa melakukan pelunasan ongkos haji.
Kriteria yang ketiga adalah tidak istitoah sementara. Maksudnya adalah dengan adanya treatment atau konsumsi obat tertentu, diharapkan beberapa waktu kemudian bisa sehat atau istitoah.
JCH dengan kriteria ini wajib cek kesehatan lagi, untuk memastikan apakah sudah istitoah dan bisa melunasi biaya haji.
Kriteria yang keempat adalah dinyatakan tidak istotiah. JCH dengan kriteria ini diperbolehkan menunda keberangkatannya tahun depan. Dengan harapan tahun depan kondisi kesehatannya baik dan dinyatakan istitoah.
Opsi lainnya adalah melimpahkan porsi hajinya ke ahli waris sesuai dengan ketentuan Kemenag.
Arsyad menegaskan skema baru ini bukan berarti menghalangi umat Islam untuk berhaji. Tetapi untuk memastikan bahwa yang berangkat memenuhi ketentuan istitoah.
Pasalnya syarat wajib haji adalah istitoah, khususnya istitoah kesehatan.
Dia menekankan bahwa haji adalah ibadah fisik. Saat di Medinah, JCH butuh kesehatan prima untuk pergi-pulang dari hotel ke Masjid Nabawi untuk salat.
Begitu ketika di Mekah, harus melakukan tawaf serta sai yang memerlukan kondisi fisik prima juga. Apalagi ketika masa Arafah, Mudzalifah, dan Mina, semakin membutuhkan kondisi fisik yang maksimal karena tinggal di tenda. (iol/jp)