JAKARTA – Komitmen Pertamina dalam mendukung Pemerintah Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission tahun 2060 kembali tertuang dalam dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB 2023 atau Conference of the Parties (COP-28) yang berlangsung di Uni Emirat Arab (UEA)
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menegaskan Indonesia dihadapkan pada trilema energi, dengan tiga isu utama, yakni keamanan energi, kesetaraan energi, dan keberlanjutan energi.
“Untuk menghadapi ketiga isu tersebut, Pertamina mengembangkan tiga inisiatif strategis komprehensif, yakni dekarbonisasi pada operasional Perusahaan (scope 1), membangun bisnis baru rendah karbon (Scope 2), dan penerapan program penyeimbangan karbon (Scope 3),” katanya, Minggu (3/12).
Diakuinya, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki target pertumbuhan ekonomi yang stabil di mana energi adalah katalis untuk pertumbuhan ekonomi. Karena itu, sebagai BUMN, Pertamina menempatkan keamanan energi sebagai prioritas utama.
"Namun, kami juga harus mengelola keseimbangan untuk kesetaraan energi, yang mencakup aksesibilitas dan keterjangkauan energi, dan keberlanjutan energi dalam mengurangi emisi karbon dalam operasi kami, baik untuk scope satu, dua, dan tiga," tegasnya.
Nicke menilai Indonesia tidak dapat mengembangkan energi terbarukan dan mengalihkan semua bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Sebab hal itu akan membahayakan keamanan energi. Untuk itu, katanya, Pertamina memiliki tiga strategi dalam mengelola keberlanjutan dengan mempertahankan keamanan energi dan memperkuat kesetaraan energi.
“Pertama, Pertamina harus mempertahankan bisnis utama, yaitu minyak dan gas. Karena, Pemerintah Indonesia memiliki target untuk meningkatkan produksi minyak dan gas hulu dari 700 ribu barel per hari menjadi 1 juta barel per hari pada 2030,” katanya.
Strategi kedua adalah meningkatkan pengembangan produk rendah karbon dengan memproduksi Biofuel. Hal ini dilakukan karena Indonesia merupakan negara kedelapan terbesar yang memiliki hutan dan memiliki kapasitas untuk memproduksi Biofuel.
"Sekarang dengan B35. Tahun lalu kami berhasil mengurangi sekitar 32 juta ton CO2 per tahun. Kami akan menambahkan lebih banyak B35 sekarang dan tahun depan, B40. Bahkan dalam kebijakan energi nasional kita yang baru, targetnya sampai B60," tambah Nicke.
Selain itu, Pertamina juga memiliki program Biogasoline dengan mencampurkan bioetanol dari tebu, jagung, dan singkong ke bensin. Pertamina akan mulai dengan E5% dan secara bertahap akan meningkat menjadi E40 dalam Kebijakan Energi Nasional Indonesia.
Inisiatif ketiga adalah pengimbangan karbon. Meski masih ada bahan bakar fosil dan pembangkit listrik tenaga batubara, Pertamina harus mengurangi emisi melalui Carbon Capture, Utilization, and Storage, serta solusi berbasis Natural Base Solution (NBS) dengan kapasitas menyerap emisi dari lingkungan global hingga 15%.
Dalam menjalankan berbagai inisiatif tersebut, lanjut Nicke, Pertamina menghadapi empat tantangan. Pertama adalah kerangka regulasi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan.
Kedua adalah teknologi yang dibutuhkan semua pengembangan potensi sumber daya alam agar dapat diproduksi menjadi energi. Tantangan berikutnya adalah pendanaan yang dibutuhkan untuk tahap awal pengembangan, penelitian, dan pengembangan. Terakhir adalah pembangunan kemampuan dan kapasitas.
"Ada empat tantangan dan kami percaya bahwa kami membutuhkan kolaborasi global tentang bagaimana kita dapat mengatasi tantangan ini terutama dukungan dari pemerintah," tandas Nicke. (rf/nt)