PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 akhirnya terbit. Diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 21 November 2023.
Mengatur ketentuan tentang cuti menteri dan kepala daerah selama kampanye Pemilu 2024.
Juga mengatur alur pengajuan cuti menteri atau kepala daerah yang maju dalam Pilpres 2024. Mereka tidak perlu mengundurkan diri.
Pengamat hukum yang juga Dekan Fakultas Hukum Unsri, Prof Dr Febrian SH MS mengatakan, terbitnya PP No 53 ini bentuk kemunduran dari proses demokrasi di Tanah Air.
BACA JUGA:Presiden Jokowi Lepas Bantuan Tahap 2 ke Palestina. Total Seberat 21,7 Ton, Apa Saja Isi Bantuannya?
"Kalau kita perhatikan secara seksama, hal ini akan berdampak penurunan demokrasi di Indonesia,” ucapnya, kemarin. PP yang seharusnya mengatur dan menjabarkan isi dari Undang-Undang, terutama yang terkait pemilu dan pemilukada, dicederai dengan konsep cuti tersebut.
“Dan itu akan berpengaruh pada demokrasi," ungkap Febrian. Ia menegaskan, cuti dan mengundurkan diri dua hal yang sangat berbeda.
Untuk seorang pejabat yang mengundurkan diri, maka semua hal terkait jabatannya dengan sendirinya terlepas.
Tapi kalau hanya cuti, semua yang terkait dengan atribut dan jabatan pejabat itu akan tetap melekat. “Walau yang bersangkutan tidak aktif di waktu itu, tapi tetap saja orang melihatnya sebagai pejabat,” cetusnya. Beda dengan yang sudah mundur, statusnya mantan pejabat.
BACA JUGA:7 Menteri PDIP Disebut-sebut Bakal Mundur dari Kabinet Jokowi
Beda kalau hanya cuti. Fasilitas negara dan semua atribut yang melekat tetap ada.
Meski pada saat kampanye tidak bisa digunakan, tapi yang demikian akan menjadi tanda tanya dan diragukan masyarakat. “Sehingga, ini menjadi sebuah indikasi tertentu dalam perpolitikan Tanah Air," tutur Febrian.
Ia menegaskan, bila dalam PP itu ditemukan ada kekeliruan, maka tentunya bisa dilakukan judicial review (JR). Bisa diadu PP No 53 itu dengan UU. Tidak boleh saling bertentangan. "Kalau bertentangan, maka PP itu bisa di-judicial review," pungkasnya.