Sosialisasi Butuh ’Sajen’, Usul Kenakan Restribusi
ALAT peraga kampanye (APK) berlambang partai politik, foto calon anggota legislatif (caleg) berikut nomor urut, sudah banyak bertebaran di pinggir jalan dan fasilitas umum. Meski penetapan daftar calon tetap (DCT) baru diumumkan 4 November 2023.
Padahal, masa tahapan kampanye baru akan dimulai pada 28 November 2023 nanti. Meski begitu, caleg masih diperbolehkan melakukan sosialisasi ke daerah pemilihan (dapil). Dari 4 November sampai 28 November nanti.
Menurut pengamat politik di Sumsel, Bagindo Togar Butar Butar, sosialisasi merupakan salah satu bentuk representasi kampanye politik. Sangat efektif untuk memperoleh dukungan dari anggota masyarakat.
Dalam pandangannya, sosialisasi adalah upaya untuk memperkenalkan diri, visi, misi, dan program kerja kepada masyarakat secara luas. “Dalam proses sosialisasi, calon legislator berinteraksi dengan masyarakat, mendengarkan aspirasi mereka,” tuturnya.
Kemudian, berusaha meyakinkan pemilih potensial tentang kualitas dan komitmen mereka dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. “Apalagi (sosialisasi) bila didukung pendistribusian logistik atau ’sajen’ secara masif,” cetusnya.
BACA JUGA:Ingin Cetak Prestasi di Musi Run 2023, Persembahkan untuk Almarhum Ayah
Bagindo juga menyoroti fakta, bahwa kegiatan kampanye berupa sosialisasi oleh para caleg ini telah berlangsung cukup lama. Sebelum DCT ditetapkan. “Bahkan lebih dari 1 tahun sebelum pemilihan,” tukasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa proses kampanye memerlukan pembiayaan yang cukup besar. Dia menekankan bahwa kapitalisasi kampanye menjadi sulit untuk dihindari. Mengingat pengeluaran yang diperlukan dalam proses sosialisasi. “Seperti acara-acara kampanye, bahan promosi, dan biaya transportasi,” urainya.
Dalam konteks ini, dia juga memberikan saran yang menarik. Dalam rentang waktu 4-28 November ini, caleg yang melakukan sosialisasi bisa dipertimbangkan kenakan retribusi bagi pemda setempat. Biaya retribusi itu, menurutnya bisa sekaligus digunakan untuk memitigasi pengeluaran besar yang terkait dengan kampanye. Meskipun hal ini mungkin menurutnya juga akan menjadi kontroversial. “Penerapan biaya retribusi sosialisasi, dapat membantu mengatur pengeluaran kampanye dan menghindari praktik korupsi yang mungkin terjadi dalam pembiayaan kampanye,” imbuhnya.
Pandangan lainnya, dia berpendapat bahwa biaya retribusi dapat menjadi hambatan bagi caleg-caleg dari kelompok masyarakat yang kurang mampu. “Perdebatan ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan dalam membangun sistem kampanye politik yang adil dan transparan,” tegasnya.
Seiring dengan perkembangan politik di Provinsi Sumatera Selatan, Bagindo menyebut menjadi salah satu komponen yang harus dipertimbangkan. “Dalam upaya untuk meningkatkan integritas dan akuntabilitas dalam proses kampanye politik di wilayah tersebut,” ungkasnya
Terpisah, pengamat politik lainnya, Prof Dr Febrian SH MS, menilai masih banyaknya APK yang terpasang sebelum tahapan kampanye ini, menunjukkan salah satu faktor kurangnya ketegasan dari penyelenggara pemilu untuk menertibkan APK.
“Sebab bila merujuk ke aturan yang ada, ini merupakan kategori pelanggaran administratif,” katanya. Kurang ketegasan berikut sanksi terhadap caleg atau parpol yang bersangkutan, akhirnya tidak akan memberikan efek jera.
“Dampaknya, caleg menjadikan hal tersebut sebuah kebiasaan sehingga setiap tahun (politik),” sesalnya. Dengan kata lain, ketegasan itu merupakan kunci dari hal ini. Kalau memang melanggar, harus ditindak dan ditertibkan sehingga tidak menjadi kebiasaan. “Awalnya cuma mau sosialisasi, ternyata ke kampanye. Ini yang harus diperhatikan dan disikapi serius oleh penyelenggara pemilu," pintanya. (iol/afi/air)