Produksi Ikan Melimpah, Pendapatan Berlipat Ganda
PALEMBANG – Ombak kuat sesekali menghantam perahu (ketek) Zulkifli (53) saat melaju menyusuri perairan Sungai Musi. Supaya tak berisiko karam, nelayan tangkap asal Sei Rasau Tanah Malang RT 18, Kelurahan Keramasan, Kecamatan Kertapati, Kota Palembang itu melayari pesisir sewaktu speedboat, kapal kontainer, atau tugboat penarik tongkang batu bara melintas.
Hari itu sudah pukul 07.45 WIB, ia sebentar lagi sampai perairan Upang, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Zulkifli lalu memutar haluan ketek ke pinggiran, mencari spot muara yang kira-kira banyak ikan sungainya. Tak lama ia mematikan mesin perahu bertenaga 9 PK, mesin itu berbahan bakar gas (BBG) LPG 3 kilogram.
Cuaca masih sedikit berkabut asap, saat menarik napas seperti nyangkut di dada. Zulkifli beringsut dari pojok mesin ke tengah perahu sepanjang 10 meter tersebut. Ia berdiri memandang jauh ke laut lepas (Selat Bangka), mengamati permukaan air yang beriak-riak, dan mengambil jaring berukuran 2,5 inci dengan target tangkapan ikan juaro. Jika serasa sedang banyak patin sungai, ia menarik jaring patin ukuran 6-7 inci.
Zulkifli bersiap-siap, melebarkan jala, menebar ke permukaan air secara merata. Lemparannya mengembang, maklum Ketua Kelompok Nelayan Mawar ini memang sudah terbiasa, lebih dari 30 tahun ia menjalani profesi nelayan tangkap. Jika sedang beruntung, hasilnya pun luar biasa.
Ia menarik pelan-pelan, jaring-nya sangat berat, ikan juaro mematil meloncat-loncat. “Pas sedang bergerombol, sekali menjala 3-4 kilogram ikan tertangkap,” ujar pria yang sering melaut sendirian itu. Ia termasuk nelayan berani “menantang” medan dan paling jauh berlayar meski perahunya kecil. “Seharian bisa dapat 40-50 kg ikan juaro, paling sedikit 20 kg,” ujarnya, Kamis (19/10). Lalu ikan seluang rata-rata 3 kg dan sedikit patin sungai karena sekarang mulai langka.
Zulkifli mengaku sejak menggunakan mesin perahu BBG dan LPG 3 kg dari Pertamina 5 tahun terakhir, produksi ikan tangkap dan pendapatannya sudah jauh meningkat, berkali lipat. “Sebab LPG berbiaya murah, saya bisa berlayar sejauh 100 mil ke Perairan Upang, Makarti, Muara Telang, sampai Sungsang. Saya leluasa mencari spot-spot sungai yang ikannya melimpah. Ketimbang melaut di sungai dalam kota, sedikit ikannya,” lanjutnya.
Tapi berbeda ketika ketek-nya masih bermesin BBM, Zulkifli tak banyak pilihan. Walau hanya mendapat beberapa kilogram ikan, ia lebih sering menjala di perairan seputar Palembang seperti Sungai Ogan, Keramasan, Gandus. “Biaya bahan bakar (BBM)-nya mahal dan butuh banyak sehingga tak bisa melaut jauh-jauh,” paparnya. Kala itu harga premium di SPBU Rp6.550 per liter dan di warung eceran Rp8 ribu-an per liter.
“Mau ke muara Upang atau Sungsang, paling tidak habis 20 liter bensin. Saya biasa membeli BBM eceran di kios kampung atau terapung, berarti sekali melaut modal bensin saja Rp160 ribu pulang pergi, belum ransum (bekal makanan), dan lainnya. Total-total jadi Rp250-300 ribu. Tak ada modal, tak bisa berlayar,” ungkapnya.
Hitung harga sekarang, jauh membengkak lagi. Di SPBU Pertalite dijual Rp10 ribu, di eceran Rp12 ribu per liter. “Butuh uang Rp240 ribu untuk BBM saja. Sudah pasti kami tak sanggup, karena penghasilan nelayan hanya untuk kebutuhan sehari-hari,” tuturnya.
Enak jika tangkapan ikan sedang banyak, Zulkifli bisa mengantongi pendapatan Rp800 ribu sehari. “Tapi pas lagi apes hanya peroleh Rp300 ribuan. Tekor pakai bensin, cuma balik modal, dapat capeknya saja. Padahal melaut ke hilir itu seharian, berangkat pagi-pagi jam 5 subuh, pulangnya jam 4 sore,” tegasnya.
Makanya setelah memakai gas melon Pertamina, nelayan-nelayan mampu menghemat pengeluaran dan berlayar nun jauh. “Harga LPG 3 kg bersubsidi kan murah. Di pangkalan gas Rp15.650 per tabung (sesuai HET). Sepanjang desa pesisir sungai juga banyak yang jual, tak perlu lagi susah-susah bawa bensin berdirijen,” katanya.
Sekali melaut, modal BBG cuma 2 tabung LPG 3 kg, berarti biaya bahan bakar perahu ke Upang tak lebih dari Rp40 ribu, hemat sampai 85 persen dari BBM. “Satu tabung bisa menempuh 3 jam perjalanan ke perairan Upang atau Sungsang,” paparnya. Karena biaya operasional sangat terjangkau, Zulkifli selalu ke muara, 3 kali seminggu.
“Lebih menghasilkan di sana, masih banyak ikan di hilir dibanding hulu. Lagipula warga setempat yang menangkap ikan sedikit, nelayan Sungsang rata-rata ke Selat Bangka,” tambahnya. Menjualnya pun tak susah, tak perlu repot ke pasar tradisional sebab sepanjang sungai banyak kapal pengepul ikan. Harganya bahkan lebih mahal seperti ikan juaro Rp20 ribu, seluang Rp40 ribu, dan patin sungai Rp70 ribu per kg.
Selepas melaut, Zulkifli pulang ke rumah membawa dua-dua tabungnya. Jika gasnya masih berisi, sesekali digunakan istrinya untuk memasak sayur mayur atau mengoreng ikan. “Gas melon bikin dapur kami tetap ngebul, saking banyak faedahnya,” imbuhnya.
Tak heran, jika Syarifudin (58), nelayan Tanah Malang yang juga tetangga Zulkifli ikut merasakan manfaat sama. “Tapi kalau tak dibantu mesin konversi BBM ke BBG, tak bisa juga nelayan menggunakan LPG. Tidak ada yang jual di pasaran, adanya mesin perahu BBM dan itu pun mahal Rp6 juta-an, tidak terbeli nelayan. Mesin BBG didesain khusus, dengan knop sambungan selang gas,” tambah Syarifudin.