JAKARTA - Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda, Emirsyah Satar sebagai tersangka korupsi Garuda yang disebut telah merugikan negara hingga Rp8,8 triliun.
Emirsyah Satar menjadi tersangka korupsi terkait pengadaan dan sewa pesawat CRJ 1000 serta ATR 72-600.
Sama seperti kasusnya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Emirsyah Satar ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung bersama mitra bisnisnya, Soetikno Soedarjo selaku Dirut PT Mugi Rekso Abadi (MRA).
Dua kasus korupsi yang menyeret eks Dirut PT Garuda Indonesia di KPK dan Kejagung tersebut pun menjadi sorotan.
Pasalnya, perkara yang ditangani baik di KPK maupun Kejagung dinilai saling beriringan dan diduga dalam kasus ini berlaku Ne Bis I Idem, yakni kesamaan dalam objek perkara atau dengan kata lain terjadi pengulangan kasus.
Pakar hokum pidana, Abdul Ficar Hadjar menjelaskan kasus ini berujung pada gratifikasi. "(Terkait kasus Emirsyah Satar) sebenarnya bisa disimpulkan begini, dari keseluruhan perbuatan itu oleh KPK disimpulkan bahwa berujung pada atau berinti pada gratifikasi,” ujarnya yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Minggu (15/10).
Menurutnya, penerimaan yang dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan jabatannya yang kemudian itu juga dikualifikasi sebagai bagian dari tindak pidana korupsi.
"Yang harus dipertanyakan adalah mengapa KPK ketika dulu mengusut pertama tidak fokus pada perbuatan yang sekarang diadili atau diambil alih oleh kejaksaan," ungkapnya.
Abdul Ficar mengatakan jika kasus tersebut dirunut kembali dari awal maka perbuatan Emirsyah Satar menjadi penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum yang menguntungkan pribadi dan merugikan negara, maka mau tidak mau menjadi pengulangan atas apa yang sudah dilakukan oleh KPK.
"Yang jadi pertanyaannya kan kenapa KPK dulu tidak menuntut dengan pasal 2 atau pasal 3 UU Korupsi tapi lebih memilih pada pasal-pasal gratifikasi yang dilakukan oleh KPK. Nah, itu yang menjadi pertanyaan besar sebenarnya itu," jelas Abdul Ficar.
Abdul juga mengatakan fokus persoalannya adalah apakah perbuatan yang pernah dikualifikasi dalam satu tuntutan tertentu itu bisa diadili lagi.
"Karena itu kemudian kita harus melihat ketentuan yang mengatur mengenai Ne Bis In Idem itu,” lanjutnya.
Diketahui, Emirsyah Satar disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 Juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP.
Sementara itu, diketahui sebelumnya di KPK, kasus yang memidanakan Emirsyah selama 8 tahun penjara adalah terkait dengan suap menyuap dan gratiffikasi pengadaan proyek pembelian Total Care Machine Program Trent Roll-Royce 700, Airbus A330-300/200, dan Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, anak perusahaan GIAA, serta pesawat CRJ 1000, serta ATR 72-600. (dw)