PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Perkembangan teknologi digital sedang melaju seperti arus besar yang sulit dihentikan. Ia mengubah cara manusia bekerja, belajar, berkomunikasi, bahkan cara anak-anak tumbuh sebagai individu sosial.
Namun, di tengah berbagai peluang yang dijanjikan, disrupsi digital menghadirkan paradox baru: semakin luas konektivitas, semakin rapuh pula keamanan anak di ruang maya.
Fenomena cyberbullying, online grooming, eksploitasi seksual berbasis digital, hingga paparan konten berbahaya kini menjadi ancaman nyata yang melingkari kehidupan anak setiap hari. Pertanyaannya: apakah kita sudah siap untuk menjaga mereka?
Disrupsi digital, sebagaimana digambarkan Christensen (1997), menciptakan perubahan radikal dalam sistem sosial melalui kemunculan teknologi yang menggantikan cara-cara konvensional. Dalam konteks dunia anak, perubahan ini terjadi begitu cepat. Lebih cepat dari kemampuan orang tua, sekolah, bahkan negara untuk mengantisipasinya.
Anak-anak kini masuk ke dunia digital bukan hanya sebagai pengguna pasif. Tapi sebagai “penduduk tetap”, yang aktivitas hariannya mulai berpindah dari ruang fisik ke layar gawai. Proses ini mengubah dinamika sosial secara fundamental dan memperbesar risiko yang belum sepenuhnya dipahami.
BACA JUGA:Mengguncang Dunia Mobile Photography, vivo X300 Pro Hadir dengan Teknologi Paling Mutakhir
BACA JUGA:Peluang Karir Baru di Industri Teknologi dan Kreatif 2025, Masa Depan Profesi Semakin Cerah
Transformasi ini juga melahirkan apa yang disebut Suler (2004) sebagai online disinhibition effect, yaitu kecenderungan individu—termasuk anak-anak—untuk bertindak lebih berani, agresif, atau terbuka di dunia maya dibandingkan di dunia nyata. Ketika interaksi sosial dipindahkan ke ruang digital yang minim kontrol sosial langsung, anak-anak rentan mengembangkan perilaku impulsif dan pola komunikasi yang tidak terfilter oleh norma budaya dan etika.
Kondisi ini bukan hanya memicu meningkatnya kasus cyberbullying, tetapi juga membuka celah bagi predator digital untuk mendekati anak melalui ruang percakapan pribadi, gim daring, hingga platform berbagi konten. Dengan demikian, disrupsi digital tidak hanya mengubah cara anak berinteraksi. Tapi juga turut membentuk ulang karakter, sensitivitas emosional, serta persepsi mereka terhadap risiko sosial yang sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan yang tampak di permukaan.
Fenomena Cyberbullying yang Kian Normal
Cyberbullying menjadi salah satu ancaman yang paling sering terjadi dan paling sulit dikendalikan. Dulu, intimidasi hanya terjadi di halaman sekolah. Sekarang ia mengikuti anak hingga ke kamar tidur. Efek anonimitas dan online disinhibition effect membuat pelaku merasa lebih berani melakukan agresi tanpa takut konsekuensi (Suler, 2004). Perundungan digital juga bersifat tak berujung karena rekaman, komentar, dan gambar dapat tersebar dengan cepat dan bertahan selamanya di dunia maya.
BACA JUGA:Pertamina Drilling Perkuat Kolaborasi Global Lewat MoU Teknologi Pemboran Lateral
BACA JUGA:Honda ADV 160 RoadSync, Skuter Adventure Modern dengan Teknologi Pintar dan Performa Tangguh
Penelitian Patchin & Hinduja (2018) menunjukkan bahwa cyberbullying meningkatkan risiko depresi, penarikan sosial, kecemasan, bahkan keinginan bunuh diri pada korban anak dan remaja. Dalam banyak kasus, korban memilih diam karena merasa malu atau takut memperkeruh keadaan. Cyberbullying kini juga mengambil bentuk baru—trolling, doxing, hingga penyebaran foto editan—yang mengaburkan batas antara bercanda dan kekerasan digital.
Ironisnya, sebagian anakmenganggap perilaku tersebut “normal” karena sering melihatnya di media sosial dan game online. Fenomena ini semakin serius karena banyak anak tidak lagi mampu membedakan antara kekerasan digital dan humor yang diterima secara sosial. Dalam perspektif desensitisasi media (Huesmann, 2007), paparan berulang terhadap konten agresif membuat anak kehilangan sensitivitas moral, sehingga perilaku menyakiti orang lain di ruang digital dianggap lumrah.