Dengarkan Keterangan 4 Saksi Dugaan Korupsi Asrama Yogyakarta
SIDANG: Para saksi memberikan keterangan seputar dugaan kasus kepemilikan asrama Yohyakarta di Pengadilan Negeri klas I Palembang.--
PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Sidang lanjutan dugaan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp10 miliar ata kepemilikan Asrama Yogyakarta terus bergulir di Pengadilan Tipikor pada PN Palembang Kelas IA Khusus, kemarin.
Sidang dipimpin Effianto, mendengarkan keterangan empat orang saksi yang dihadirkan di muka persidangan.
Keempat saksi dewan pembina yakni dari kantor notaris dan saksi dari kantor BPN Kota Yogyakarta namun tidak bisa hadir.
Marbun Damargo, saksi sidang kasus korupsi penjualan aset Yayasan Batanghari Sembilan di Jogjakarta, menceritakan awal dibentuknya kepengurusan Yayasan Batanghari Sembilan bermodalkan uang Rp 10 ribu.
BACA JUGA:Fakta Sidang Tawuran Tewas, Muncul Istilah Korban ’Disayur’, Keluarga Emosi Terdakwa Dilempar Tas
Saksi Marbun, yang merupakan ASN Kabid pengelolaan aset pada BPKAD Sumsel, berdasarkan dokumen mengatakan Yayasan didirikan pada tahun 1952.
Di hadapan majelis hakim Tipikor PN Palembang, ia menerangkan pendirian Yayasan Batanghari Sembilan merupakan atas inisiasi dari unsur-unsur Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.
“Yang mana dalam hal ini Gubernur Sumatera Selatan selaku kepala daerah pada saat itu,” terang saksi Marbun.
Termasuk juga, kata saksi Marbun, ada juga Ali Hanafiah, Raden Ahmad Nadjamuddin selaku Bupati, serta masih banyak lagi pejabat-pejabat yang lainnya saat itu.
BACA JUGA:Yuli Trisnawati Kembali Disidang, Terancam Hukuman Lebih Berat atas Kasus Penipuan Umroh
Pada saat itu, lanjut saksi Marbun, modal awal yang diserahkan oleh pihak panitia kemerdekaan kepada pengurus yayasan yang akan didirikan sebesar Rp10.000.
“Uang Rp10.000 itu dikumpulkan oleh pengurus dari sumbangan masyarakat, termasuk juga dikumpulkan dari panitia HUT kemerdekaan saat itu,” ungkap saksi Marbun.
Uang itu, lanjutnya, dilaporkan oleh panitia untuk modal awal tiga aset, termasuk di antaranya aset Yayasan Batanghari Sembilan yang ada di Jogjakarta berupa asrama mahasiswa.
Sebagaimana perintah gubernur saat itu, kata saksi Marbun, tujuan mendirikan asrama mahasiswa di Jogjakarta agar mahasiswa Sumsel yang menempuh pendidikan disana mendapat tempat tinggal.
BACA JUGA:Dapat Upah Rp2 Juta per Bulan, Influencer Promosikan Judi Online Ditangkap dan Disidang
BACA JUGA: Segera Disidang, Perkara Dugaan Korupsi Anggaran Makan Minum Santri Sekolah Tahfiz
“Tidak hanya di Jogjakarta saja, tapi juga di tempat-tempat lain,” ujarnya.
Lebih lanjut diceritakan Marbun, permasalahan terjadi ketika beberapa perwakilan mahasiswa Sumsel di Jogjakarta melakukan aksi demo karena asrama yang merupakan aset dari Yayasan Batanghari Sembilan dijual kepada Yayasan Muhammadiyah Jogjakarta.
Karena itu, ia bersama tim berangkat ke Jogjakarta untuk melakukan survey dan kesimpulannya memang didapati tanah dan bangunan itu telah beralih hak ke Yayasan Muhammadiyah Jogjakarta.
“Dari situ masuk laporan ke Kejaksaan dan mulai dilakukan pemeriksaan oleh penyidik Kejaksaan," ucapnya.
BACA JUGA:Komisioner Bawaslu-KPUD Terancam Dicopot?, Sidang DKPP Masuki Tahap Kesimpulan
Sebelumnya, saksi mantan Plt Sekda Kota Palembang Kurniawan AP beserta dua saksi lainnya di persidangan ungkap adanya empat dugaan pemalsuan dokumen perihal peralihan hak aset Batanghari Sembilan oleh para pengurus.
Ia tidak mengetahui bahwa atas dasar surat jawaban dari pihak Pemkot Palembang itu dijadikan dasar oleh pengurus yayasan Batanghari Sembilan untuk proses peralihan hak berupa aset yang ada di Jogjakarta.
Dan, baru mengetahui saat dipanggil oleh tim penyidik Kejati Sumsel, saat ditunjukkan bukti berupa dokumen surat jawaban dari pihak Pemkot saat itu ada 4 perbedaan antara surat aslinya.
“Ada empat perbedaan, pertama dari penanggalan surat yang asli dibuat pada tanggal 8 Juni 2016 dan yang palsu tertanggal 8 Juli 2016,” kata Kurniawan.