Mitigasi Konflik Laut China Selatan Demi Jaga Kedaulatan Perairan Indonesia

KAWASAN ZEE : Kawasan perairan Laut Natuna Utara (dulu Laut China Selatan) masuk yurisdiksi Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982. Tapi sayang banyak negara tetangga yang ikut mengklaim kepemilikan wilayah tanpa alas hukum sah.-Foto : Rendi/Sumeks-

SUMATERAEKSPRES.ID – Kekayaan Laut Natuna Utara yang berada di wilayah perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia sangat melimpah, baik itu dari segi potensi perikanan, minyak dan gas (migas), serta jalur perdagangan strategis pelayaran dunia.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat tahun 2017 potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI Nomor 711 (WPP-RI 711) itu mencapai 767.126 ton per tahun. Di sana ada ikan pelagis besar (tuna, cakalang, tongkol) dan kecil (layang, kembung, teri), ikan karang, ikan demersal, lobster, gurita, cumi-cumi, rajungan, serta udang penaeid. Sementara produksi perikanan di laut yang sebelumnya bernama Laut China Selatan ini mencapai 2.687,8 ton pada 2017 dan terbanyak ikan layang dan tongkol. 

Untuk cadangan minyak bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendata sebesar 92,63 milion stock tank barrel (MMSTB) atau sekitar 2,45 persen dari cadangan di Indonesia 3.774,6 MMSTB. Sementara gas bumi 1.045,62 billions of standard cubic feet (BSCF) atau 1,35 persen dari total cadangan 77,29 trillions of standard cubic feet (TSCF). Produksinya minyak 17.449 barel per hari dan gas bumi 394 standar kaki kubik per hari.

Kemudian Laut Natuna Utara berada di wilayah perairan strategis menghubungkan Samudera Pasifik dan Hindia, sehingga dikenal maritime superhighway atau jalur transportasi/perdagangan maritim internasional tersibuk di dunia. Hampir sepertiga kapal dari berbagai negara melintasinya. Bagi Indonesia merupakan pintu masuk menuju Laut China Selatan. Tak heran karena ini pula Laut Natuna Utara menjadi perebutan dan klaim sepihak sebagian wilayah oleh sejumlah negara perbatasan seperti China, Malaysia, Vietnam, Filipina, Taiwan, hingga Brunei Darussalam.

Negara China alias Tiongkok bahkan memasukan Laut Natuna Utara ke dalam konsep Sembilan Garis Putus-Putus (Nine Dash Line). Klaim Tiongkok atas perairan Indonesia ini kurang lebih 83.000 km persegi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna. Akibat klaim ini, konflik atau ketegangan geopolitik di Laut China Selatan tak bisa dihindari.

Nelayan-nelayan Tiongkok yang merasa Laut Natuna Utara milik negaranya kian berani memasuki ZEE Indonesia ini tanpa izin sejak tahun 2010. Berikut kapal berbendara Tiongkok lain, mulai dari kapal penelitian, kapal perang, hingga kapal penjaga pantai. Kapal riset perikanan Tiongkok, Nan Feng diduga melakukan penelitian ilmiah kelautan atau survei hidroakustik tanpa izin di ZEE Indonesia.

Kapal milik Chinese Academy of Fishery Sciences (CAFS) Tiongkok itu terdeteksi beroperasi di Laut Natuna Utara pada 2 Mei 2023. Sebelumnya kapal coast guard China, CCG 5901 mondar-mandiri di Natuna pada Desember 2022. Kapal-kapal penjaga pantai yang ada juga diduga memberikan pengawalan kepada kapal-kapal nelayan China untuk mencuri ikan secara ilegal di sana.

Kasus illegal fishing atau penangkapan ikan ilegal disusul kapal nelayan berbendera Vietnam dan Malaysia. Kapal patroli Orca 02 milik KKP sempat menangkap 2 kapal pukat Vietnam di Laut Natuna Utara, berikut 15 awak kapal dan menyita 15 ton ikan ilegal pada 4 Mei 2024. Tak hanya mengeksploitasi sumber daya ikan, kapal nelayan-nelayan asing ini juga merusak ekosistem laut (ekologi) dan perikanan lantaran menggunakan pukat harimau (trawl).

Tentu saja semua kasus pelanggaran perbatasan maritim dan laut teritorial ini mengancam kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) terhadap keberadaan Laut Natuna Utara. Karena sudah jelas masuk yurisdiksi Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982. Diketahui, UNCLOS 1982 merupakan kesepakatan batas-batas wilayah kelautan yang telah diratifikasi lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia.

Sementara China menolak UNCLOS dan berpegang teguh pada basis sejarahnya dalam menentukan batas wilayah, seperti Laut China Selatan menggunakan konsep Nine Dash Line. Tiongkok bahkan mengeluarkan peta terbaru pada 28 Agustus 2023 yang memperluas klaim atas wilayah laut yang berbatasan dengan Filipina dari 9 menjadi 10 garis putus-putus.

Dalam publikasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia “Menjawab Provokasi Tiongkok di Laut Natuna”, Guru Besar dan Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Internasional UI, Prof Melda Kamil Ariadno SH LLM Phd saat itu menyatakan klaim Tiongkok sama sekali tidak berdasar dalam hukum internasional. Hukum laut tidak mengenal “traditional fishing ground”, yang ada “traditional fishing right” di wilayah perairan kepulauan (bukan di ZEE maupun laut teritorial) dan harus diatur melalui perjanjian antar negara.

Artinya tidak satu pun kapal ikan asing boleh menangkap ikan di ZEE satu negara tanpa ada izin negara pantainya. Indonesia mengklaim ZEE sejak 1983 lewat UU Nomor 5 Tahun 1983 dan tidak pernah ada keberatan Tiongkok akan hal itu. Berdasarkan hukum internasional, Tiongkok mengakui klaim Indonesia atas ZEE-nya.

Meski di sisi lain, Tiongkok mengirim penjaga pantai menjaga kapal ikannya jauh keluar dari laut teritorial dan ZEE Tiongkok. Dapat diartikan China menganggap perairan Natuna yurisdiksi mereka dicerminkan dalam klaim sepihak Nine Dash Line. Klaim atas “historical title” ini absurd dan tak punya alas hukum sah. Apalagi jarak Tiongkok dan titik terluar Nine Dash Line-nya sangat jauh, melebihi hukum laut yang hanya diakui 200 mil laut dari pantai untuk ZEE.

Menjaga Kedaulatan Indonesia dari Ancaman Konflik

Selama ini Indonesia terus berupaya mempertahankan kedaulatan perairan Indonesia termasuk di Laut Natuna Utara. Di antaranya memberantas illegal fishing dengan mengusir, menangkap, hingga menegakkan hukum bagi nelayan asing yang melanggar perbatasan.

Saat menangkap nelayan asing asal Vietnam di Laut Natuna Utara, 4 Mei 2024, Plt Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Dr Pung Nugroho Saksono APi MM menyampaikan Laut Natuna salah satu WPPNRI paling banyak praktik illegal fishing, karena negara tetangga mengklaim batas wilayah perairan menggunakan Landas Kontinen.

Padahal Indonesia menggunakan ZEE dengan perhitungan 200 mil laut dari garis dasar pantai. Sehingga laut teritorial ini harus dijaga, tak hanya oleh KKP, juga butuh kolaborasi dengan aparat penegak hukum seperti TNI/Polri, Bea Cukai, hingga Bakamla (Badan Keamanan Laut).

Selanjutnya melakukan pengamanan, penjagaan, pemantauan, dan patroli intensif di kawasan ZEE Kepulauan Natuna. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Marsekal TNI (Purn), Hadi Tjahjanto sebenarnya sudah menyampaikan tak hanya TNI AL mensiagakan kapal perang dan patroli berkelanjutan, ia pun meminta TNI AU mempersiapkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) pengamanan wilayah udara NKRI khususnya di Laut Natuna Utara, baik itu helikopter maupun pesawat tempur. Tindakan ini minimal dapat mencegah pelanggaran zona maritim dan kedaulatan perairan di lokasi rawan konflik antar negara tersebut.

Namun tentu tidak itu saja, Pemerintah Indonesia perlu terus menerus mengemukakan protes keras lewat jalur diplomasi (negosiasi/medisiasi) kepada negara pelanggar ZEE, misalnya kepada Pemerintah Tiongkok atau Vietnam melalui duta besarnya yang ada di Indonesia. Jika tak berhasil, pemerintah bisa menggugat kasus penangkapan ikan ilegal ke Mahkamah Internasional melalui jalur litigasi atau penyelesaian hukum dengan menempuh jalur pengadilan.

Kemudian menegakkan kedaulatan dan menguatkan publikasi batas wilayah laut Indonesia seperti ZEE Kepulauan Natuna berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982. Upaya Indonesia meluncurkan peta NKRI versi baru pada 2017 yang mengubah Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara sebenarnya satu upaya menegakkan kedaulatan perairan. Tetapi mengubah nama tentu tidak cukup, pemerintah perlu menguatkan publikasi internasional sehingga benar-benar diakuinya negara seluruh dunia.  

Sebab negara terlibat sengketa di kawasan Laut China Selatan ini tak hanya negara-negara di ASEAN atau ASIA (Tiongkok dan Taiwan), tetapi juga negara-negara di luar kawasan seperti India, Amerika, Rusia, Jepang, dan Australia, baik terlibat secara langsung maupun tidak langsung seperti pembelaan terhadap sekutunya yang berkonflik.

Paling penting meningkatkan aktivitas, baik itu perikanan tangkap, eksplorasi tambang, atau kegiatan perekonomian lain di wilayah perairan ZEE Kepulauan Natuna. Tentu saja dengan jaminan keselamatan dari TNI. Langkah ini akan menguatkan kepemilikan hak kedaulatan perairan Laut Natuna Utara, supaya negara lain yang turut mengklaim mengakuinya secara riil/nyata sesuai kesepakatan batas wilayah kelautan dalam UNCLOS 1982. Semua negara di dunia wajib menghormati kedaulatan Indonesia dan tidak mengklaim tanpa alas hak yang sah.

Tanpa mitigasi konflik yang memadai di Laut Natuna Utara, ancaman pencaplokan dan pengakuan hak perairan oleh negara lain dapat terus terjadi. Tak sekedar itu, ancaman masifnya illegal fishing dan pelanggaran batas perairan akibat klaim wilayah selalu mengintai, eksplorasi SDA (sumber daya alam) ilegal, pencemaran, bahkan penyelundupan, perompakan bersenjata, hingga invasi wilayah. Sekarang saatnya Indonesia menunjukan manpower-nya menjaga kedaulatan perairan Indonesia. (fad)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan