Kabar Baik, Faskes Primer Layani Kesehatan Jiwa
HINDARI : Sikap pura-pura bahagia patut dihindari karena ini dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Foto : IST--
JAKARTA - Kesehatan jiwa acap kali disepelekan karena tidak terlihat secara fisik. Namun ternyata jumlahnya cukup mengkhawatirkan. Di Indonesia, satu dari sepuluh orang terdeteksi memiliki gangguan jiwa.
Menurut hasil riset kesehatan dasar (Riskedas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2018, secara nasional 10,35 persen masyarakat mengalami gangguan emosional, 6,2 persen depresi, dan 6,7 persen skizofrenia.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto menyatakan kasus gangguan jiwa di Indonesia banyak bukan saja karena masalah dan tekanan yang dialami masyarakat semakin berat.
Tapi political will untuk mengatasi masalah ini semakin lemah. “Contohnya Undang-Undang Kesehatan Jiwa dicabut,” ungkap Edy, kemarin (15/11).
Dulunya UU nomor 18 tahun 2014 memberikan posisi penanganan kesehatan jiwa di Indonesia dan kini dilebur setelah lahirnya UU no 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. “Sekarang pendampingan bagi orang yang punya risiko gangguan jiwa di public health rendah,” bebernya.
Menurut Edy, perawat, bidan, maupun dokter memiliki ilmu soal kesehatan jiwa. Sehingga ketika sebaran psikolog atau psikiater masih timpang dengan kebutuhan masyarakat, maka tenaga kesehatan lain diharapkan bisa mengisi.
“Komisi IX mendorong Menteri Kesehatan melakukan transformasi perubahan layanan kesehatan jiwa yang lebih memperkuat sistem kesehatan jiwa berbasis masyarakat,” kata Edy. Dia mengusulkan di Posyandu ada satu meja khusus untuk menangani kesehatan jiwa. Ini untuk gangguan jiwa yang ringan seperti stres adaptasi.
Dengan mendekatkan layanan kesehatan jiwa kepada masyarakat, maka penemuan kasus secara dini akan lebih masif. “Ada golongan masyarkat sehat jiwa, masyarakat risiko gangguan jiwa, dan masyarakat yang mengalami gangguan jiwa. Tentu pelayanan kesehatan jiwa yang diberikan tidak hanya untuk yang mengalami gangguan jiwa saja,” imbuhnya.
Karena itu, Edy memandang layanan kesehatan penting juga diberikan pada golongan masyarakat yang sehat jiwa dan berisiko gangguan jiwa. Sebelumnya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan deteksi dini terkait gangguan jiwa masih lemah. Berbeda halnya dengan deteksi untuk penyakit yang kaitannya dengan fisik. “Gangguan jiwa deteksinya masih manual pakai kuisioner,” katanya. Padahal untuk deteksi penyakit fisik, sudah ada berbagai alat kesehatan canggih.
Katanya, ke depan sistem layanan kesehatan jiwa di puskesmas akan diperbaiki. Hal ini sejalan dengan yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia (WHO). “Di dunia pengobatan jiwa sudah bergeser. Tidak lagi ditempatkan di tempat khusus,” katanya. Maksudnya rumah sakit jiwa sudah tidak jamak lagi digunakan. Ini karena akan menimbulkan stigma.
Budi memiliki wacana jika orang mengalami gangguan jiwa ringan bisa dirawat di fasilitas kesehatan primer. Perawatan ini berjenjang seperti penyakit fisik. Rumah sakit umum pun bisa melayani pasien gangguan jiwa. “Kalau sudah terkendali pasien dikembalikan ke society. Indonesia masih kuno karena masih menggunakan rumah sakit jiwa,”tandasnya. (*/lyn)