Kisah Laksamana Perempuan Pertama di Dunia yang Memimpin Pasukan Janda
Laksamana Malahayati. Foto: Disdikbud Aceh Besar--
SUMATERAEKSPRES.ID - Hari Pahlawan yang kita peringati setiap 10 November memang menjadi momen yang tepat untuk mengingat atau membaca kembali kisah-kisah heroik para pahlawan bangsa.
Seperti kisah pahlawan perempuan satu ini. Siapa sangka, di tengah dunia militer yang didominasi oleh lelaki, ada sosok laksamana perempuan yang menggetarkan laut Nusantara.
Malahayati, begitulah nama yang akan selalu dikenang dalam sejarah kepahlawanan Indonesia. Ia adalah perempuan pertama di dunia yang memegang panglima tertinggi di laut. Mari kita telusuri kisah luar biasa Malahayati.
Jejak Keluarga dan Semangat Kelautan
Keumalahayati, atau yang lebih dikenal dengan nama Malahayati, adalah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh.
Ia memiliki darah bangsawan yang mengalir dalam urat nadinya. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, adalah seorang yang memiliki posisi tinggi di Angkatan Laut Kesultanan Aceh.
Bahkan garis ayahnya lebih jauh terkait dengan Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M.
Malahayati lahir di Aceh Besar pada tahun 1550. Sejak masa kanak-kanak dan remaja, ia mendapat pendidikan istana. Dan itulah awal mula semangat kelautan Malahayati mulai tumbuh.
Ia mengikuti jejak ayah dan kakeknya dengan menempuh pendidikan militer jurusan angkatan laut di akademi Baitul Maqdis. Lingkungan yang tepat sejak kecil menjadikan darah patriotisme mengalir begitu kuat dalam dirinya.
Membentuk Pasukan Janda
Peran Malahayati dalam sejarah tidak hanya sebatas seorang laksamana, namun juga sebagai pemimpin pasukan wanita yang dikenal dengan sebutan "Inong Balee."
Inong berarti wanita, sedangkan Balee berarti janda. Ini adalah pasukan wanita yang ditinggalkan oleh suaminya yang gugur dalam peperangan.
Malahayati melatih para janda tersebut untuk menjadi pasukan tangguh dalam Kasultanan Aceh, siap menghadapi pasukan penjajah Belanda atau Portugis yang sewaktu-waktu bisa datang.
Selain pelatihan, mereka juga membangun sebuah benteng setinggi 100 meter di atas permukaan laut. Tembok benteng itu menghadap ke laut dengan lubang-lubang meriam yang siap menembakkan salvo maut ke arah musuh.