Nadiem Makarim: Antara Gebrakan Merdeka Belajar dan Ujian Integritas
Ramlan Effendi MPd Kepala SMPN 4 Kikim Selatan Lahat-foto: ist-
SUMATERAEKSPRES.ID - Kabar penetapan Nadiem Anwar Makarim, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan Chromebook, menjadi pintu masuk untuk kembali menelaah kiprah seorang tokoh yang pernah menjadi simbol gebrakan baru di dunia pendidikan.
Nadiem Makarim baru ditetapkan sebagai tersangka. Belum tentu ia terbukti melakukan korupsi seperti yang dituduhkan. Namun sudah banyak pro kontra dikalangan pemerhati pendidikan.
Dulu, nama Nadiem Anwar Makarim terdengar seperti melodi baru di panggung pendidikan Indonesia. Publik yang lama mendengar nada sumbang dari ruang kelas yang penuh hafalan, tiba-tiba merasa ada nada segar.
Pada tahun 2019, seorang menteri muda, lahir dari dunia digital, pendiri Gojek, berpenampilan santai, bicara lugas, seakan datang membawa playlist baru untuk bangsa yang sudah bosan dengan kaset lama. Banyak masyarakat menaruh harapan. Sebagian guru yang letih dengan rapat kurikulum tahunan mulai percaya, mungkin kali ini ada pemimpin yang paham bahwa sekolah bukan pabrik nilai.
Para siswa dan guru yang setiap tahun tertekan oleh ujian seragam seakan diberi isyarat: “Kalian boleh belajar dengan cara kalian sendiri.” Orang tua pun berharap anak-anak mereka bisa merasakan sekolah sebagai taman, bukan hanya ruang untuk memproduksi nilai dan angka saja. Harapan itu terwujud dalam jargon yang cepat populer: Merdeka Belajar.
BACA JUGA: Eks Dirjen Perkeretaapian Dipindahkan ke Rutan Pakjo, Tersangka Kasus Dugaan Korupsi LRT Sumsel
BACA JUGA:Kasus Korupsi LRT Sumsel, Kejati Sumsel Pindahkan Mantan Dirjen Perkeretaapian ke Rutan Pakjo
Merdeka Belajar: Angin Segar di Ruang Kelas
Sejak 2019, jargon ini melahirkan gebrakan, Ujian Nasional (UN) dihapuskan, diganti Asesmen Nasional yang lebih menekankan literasi, numerasi, dan karakter. Kebijakan itu bagai mencabut duri yang setiap tahun menusuk jantung jutaan siswa dan guru. Tidak sedikit yang merasa lega, sebab UN selama ini lebih sering menakut-nakuti daripada mendidik.
Di saat yang sama, Kurikulum Merdeka diluncurkan. Guru diberi kebebasan untuk mengatur pembelajaran sesuai kebutuhan, siswa diberi ruang untuk belajar sesuai minat. Di seminar-seminar, ide ini terdengar bagai puisi yang menampilkan: fleksibilitas, kemandirian, dan kreativitas. Namun, sebagaimana puisi tidak selalu mudah dipahami semua orang, begitu juga kebijakan ini. Di kota-kota besar, sekolah dengan fasilitas lengkap mampu menari mengikuti irama kurikulum baru.
Tetapi di pelosok, guru justru bingung, seperti diminta memainkan biola padahal yang ada hanya gitar plastik mainan. Di sinilah terlihat jurang besar pendidikan kita: satu negeri dengan dua wajah. Di satu sisi ada sekolah yang bisa menampilkan drama musikal dengan proyektor modern, di sisi lain ada sekolah yang bahkan papan tulisnya retak.
BACA JUGA:Nadiem Makarim Tersangka Baru Dugaan Korupsi Pengadaan Laptop Chromebook, Klaim Tidak Lakukan Apapun
BACA JUGA:Terseret Kasus Korupsi Hampir Rp2 T, Senyum Mas Menteri Nadiem Diantar ke Rutan Salemba
Pandemi: Ketika Pendidikan Masuk ke Gawai
