GERHANA
SUMATERAEKSPRES.ID - Lengkaplah Ramadan tahun ini dengan hadiah gerhana matahari. Satu peristiwa yang langka, yang tak biasa, yang tentunya sangat istimewa. Walaupun dibalik itu, berdebar-debar juga jantung kita, siapa tahu saat Allah berhentikan tata surya beredar, berhenti pula denyut nadi dunia. Padahal, kita belum apa, belum punya bekal yang cukup untuk menghadap-Nya. Saat sedang berada di atas mimbar dan disaksikan ramainya jamaah, seorang badui lantang bertanya, "Kapankah hari kiamat tiba, Ya Rosul?" Sahabat-sahabat saling pandang. Berani betul si badui ini memotong pembicaraan Baginda yang mulia, batin mereka. Karena Nabi Saw belum menjawab, pertanyaan ini diulang hingga tiga kali. Sedikit pun Nabi tak marah akibat kelancangan badui itu. Justru Nabi tersenyum dan bertanya, "Andai tahu kapan waktu kiamat, apa yang telah engkau persiapkan?" "Hanya cintaku padamu, Ya Rosul," jawab sang badui. "Sebaik-baik bekal adalah cinta," demikian Baginda memberi fatwa. Jika telah bersemayam cinta, tentu seorang hamba kan melakukan apa yang dicintai dan disukai yang dicintainya. Kembali soal gerhana. Waktu SD dulu, kami disuruh keluar kelas. Kata guru, "Sebentar lagi gerhana matahari total, anak-anak. Ayo kita ke musolla, solat kusuf". Abahku yang jadi imam. Makmumnya sampai membludak di lapangan. Mungkin kalau dihitung ratusan jumlahnya karena peristiwa ini sangat jarang terjadi. Guru kami beserta penduduk kampung menyediakan beberapa baskom besar yang telah dipenuhi air jernih. Di dalam baskom, kami pun melihat matahari pelan-pelan seolah. Blep, dunia pun kehilangan cahaya. "Jangan melihat ke atas ya. Jangan melihat matahari langsung. Nanti mata kita rusak," pesan guru kami yang kami camkan baik-baik. Pada 9 Maret 2016 gerhana matahari total kembali terjadi. Berduyun-duyun masyarakat Palembang berkumpul di mesjid Agung, di tengah-tengah ibukota. Selesai solat dan berdoa kami membanjiri Jalan Sudirman, urat nadi kota Palembang, menyaksikan langit yang asalnya benderang berubah menjadi gulita. Ramai orang bertepuk tangan dan bersorak "hore" kala cahaya kembali benderang selepas gergana. Aneh juga, pikirku. Di sudut lain, tidak sedikit orang mengagungkan asma Allah, bertakbir. Bahkan, menitikkan air mata menyaksikan kekuasaan Allah yang maha dahsyat itu. Di Karbala, saat sayyidina Husein, cucu kesayangan Rosulullah Saw dihina, dikepung, dan dibantai, enam hari berturut-turut langit muram, muncul pula gerhana. Bahkan, Sayyidah Ummu Salamah, istri Rosul Saw yang masih hidup, bermimpi bertemu Rosulullah Saw. Beliau menyaksikan wajah duka Sang Baginda karena teramat pilunya. Jauh sebelumnya, di zaman Rosulullah Saw, pernah pula terjadi beberapa kali gerhana, termasuk ketika Sayyidina Ibrahim, putra Rosulullah Saw dengan istrinya Sayyidah Mariyah Qibthiyah, berpulang saat masih bayi. Yang jelas, gerhana adalah tasbihnya makhluk langit. Gerhana memberi tahu kita betapa Allah Maha Kuasa. Di surat Yasin, ayat 40, Allah menjelaskan bahwa tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. Gerhana terjadi bukan karena hidup atau matinya seseorang. Gerhana juga bukan karena mitos tertentu. Yang jelas, gerhana mengajarkan kita untuk mengakui dan yakin akan kebesaran Allah, hingga hati ini tunduk dan sujud, berserah pada-Nya. Selain itu, gerhana mengedukasi kita bahwa banyak peristiwa aneh dengan izin Allah bisa terjadi. Bukan tidak mungkin kita menyampaikan segala hajat yang menurut orang tak mungkin, tetapi kita yakin dapat dikabulkan Allah.