Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif, Syekh Athiyyah Shaqr, menekankan bahwa menikmati keindahan hidup, seperti makan, minum, dan bersenang-senang, adalah hal yang diperbolehkan selama tidak keluar dari koridor syariat.

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh ulama Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, yang menegaskan bahwa perayaan tahun baru merupakan tradisi sosial yang tidak memiliki kaitan langsung dengan agama.

Oleh karenanya, perayaan ini tidak dapat dikategorikan sebagai ibadah, tetapi juga tidak melanggar prinsip-prinsip agama selama dilaksanakan tanpa kemaksiatan.

BACA JUGA:Mengapa Setan Menyukai Makanan Tanpa Doa Simak Penjelasan Islami Tentang Gangguan Spiritual

Larangan Perayaan Menurut Muhammadiyah

Sebaliknya, Muhammadiyah memiliki pandangan yang lebih tegas.

Perayaan tahun baru dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam karena terkait dengan tradisi kaum pagan Romawi.

Pandangan ini mengacu pada hadis Nabi Muhammad saw. yang melarang umat Islam untuk mengikuti tradisi yang tidak berasal dari ajaran Islam.

Sejarah Kalender Gregorian

Kalender Gregorian, yang menjadi dasar perhitungan Tahun Baru Masehi, pertama kali diperkenalkan oleh Kaisar Romawi Julius Caesar pada tahun 46 SM.

Kalender ini kemudian disempurnakan oleh Paus Gregorius XIII pada tahun 1582 dan diadopsi secara luas di Eropa Barat pada abad ke-18.

Meski memiliki sejarah yang panjang, perayaan tahun baru kini lebih sering dianggap sebagai tradisi budaya global daripada perayaan agama tertentu.

Merayakan tahun baru dalam Islam merupakan persoalan yang bergantung pada niat dan cara pelaksanaannya.

Selama tidak disertai dengan perbuatan maksiat, merayakan tahun baru dapat dianggap sebagai tradisi yang netral.

Namun, umat Muslim dianjurkan untuk memaknai momen ini dengan memperbanyak ibadah, introspeksi, dan rasa syukur.