Kian Ogah Kawin, Rerata Usia Melajang Naik, Angka Remaja Melahirkan dan Kelahiran Menurun
PUKUL GONG : Sekda Sumsel Edward Chandra memukul gong tanda dibukanya kegiatan evaluasi tengah tahun Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Angka Stunting di Hotel Salatin, Rabu (25/9). -foto: ist-
PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Cara pandang generasi muda di Indonesia khususnya Sumatera Selatan terkait perkawinan mulai bergeser. Sebagian mulai meninggalkan tradisi nikah muda atau menikah di usia remaja, hal ini terlihat dari paparan hasil evaluasi tengah tahun Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting yang digelar di Hotel Salatin, Rabu (25/9).
Kepala Perwakilan BKKBN Sumatera Selatan, Mediheryanto mengatakan bahwa salah satu indikator kinerja utama (IKU) Program Bangga Kencana dan Stunting di Sumatera Selatan yakni Median Usia kawin pertama (MUKP) mengalami kenaikan. Yakni dari usia 20,6 tahun di tahun 2022 menjadi 21,4 tahun di tahun 2023, atau naik tipis 0,8 persen.
Indikator lainnya yakni Age Specific Fertility Rate (ASFR) 15-19 years old atau angka kelahiran remaja umur 15–19 tahun juga mengalami penurunan. Dari sebelumnya 32,6 persen di tahun 2022 menjadi 28,7 persen atau turun 3,9 persen. Begitupun angka kelahiran atau Total Fertility Rate (TFR) di tahun 2022 di angka 2,38 persen turun menjadi 2,30 persen di 2023.
Dua IKU lainnya yakni, Modern Contraceptive Prevalance Rate (mCPR) atau tingkat prevalensi kontrasepsi mengalami peningkatan dari angka 62, 60 persen di tahun 2022 menjadi 62,80 persen di tahun 2024 atau naik 0,02 persen. Tingkat Prevalensi Kontrasepsi adalah presentasi wanita atau pasangannya yang menggunakan metode kontrasepsi.
Lalu Unmeetneed atau kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi di angka 14,00 persen di tahun 2022 menjadi 10,20 persen atau turun 3,80 persen. "Walaupun IKU ini ada yang naik turun, tetapi ini bukan berarti tidak baik," Kata Mediheryanto.
Sementara, sejumlah generasi muda (Gen Z) di Sumsel, khususnya di kota besar seperti di Palembang mengatakan mereka memilih tidak cepat kawin maupun memiliki anak karena terkait persoalan ekonomi maupun mental. “Itu kan pemikiran orang tua dulu kak, harus cepat kawin. Kalau sekarang mikir dua kali, biaya nikah mahal, belum lagi setelah nikahnya, beli rumah juga udah makin mahal, apa-apa serba mahal, jadi mending nikmati hidup dan nabung dulu,” ucap Nabila, salah satu mahasiswi di Metropolis.
Bahkan Nabila, memilih fokus mengejar karier ketimbang memikirkan untuk menikah. “Sekarang saja saya sambil kerja, pacar juga baru dapat kerjaan. Nantilah nikah, harus dipersiapkan dulu, teman-teman yang lain, mikirnya juga sama,” cetusnya.