Pemerintah Targetkan Kemandirian Penerima Program KUA Pemberdayaan Ekonomi Umat dalam 3 Tahun
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag, Waryono Abdul Ghafur, mendorong penerima manfaat untuk berkomitmen menjalankan usaha secara serius. Ia meyakini, dengan panduan dari KUA, penyuluh, dan pendamping, penerima manfaat dapat mencapai kemandirian -Foto: Kemenag-
JAKARTA, SUMATERAEKSPRES.ID - Kementerian Agama (Kemenag) menargetkan penerima manfaat dari Program KUA Pemberdayaan Ekonomi Umat (PEU) tahun 2024 bisa mandiri dalam tiga tahun.
Program ini tidak hanya memberikan bantuan permodalan, tetapi juga pendampingan, pelatihan, serta modul pengembangan usaha bagi penerima manfaat.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag, Waryono Abdul Ghafur, mendorong penerima manfaat untuk berkomitmen menjalankan usaha secara serius.
Ia meyakini, dengan panduan dari KUA, penyuluh, dan pendamping, penerima manfaat dapat mencapai kemandirian bahkan sebelum tiga tahun.
BACA JUGA:Kemenag Surati Kominfo, Sarankan Azan Magrib Diganti Running Text di TV Saat Misa Paus Fransiskus
BACA JUGA:Bawaslu OKI Tegaskan Netralitas ASN Jelang Pilkada, Masyarakat Diminta Awasi
"Jika mengikuti panduan dari KUA dan pendamping, insyaallah tidak perlu waktu tiga tahun untuk mandiri dan bahkan menjadi pemberi manfaat bagi orang lain," ujar Waryono.
Waryono menekankan bahwa kunci kesuksesan terletak pada semangat untuk mandiri. Menurutnya, seseorang yang memiliki niat untuk mandiri pasti memiliki perencanaan yang baik untuk mengembangkan usahanya.
"Saat ada niat, pasti ada rencana. Jika ada kendala, akan muncul semangat untuk mencari solusi. Tapi tanpa niat, seringkali malah lari dari masalah," tegasnya.
Ia juga berharap agar penerima manfaat dapat menjadi contoh yang baik, tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga bagi masyarakat sekitar.
BACA JUGA:Rokok Sebabkan Kebakaran Sumur Ilegal, Polisi Tangkap Tersangka
BACA JUGA:Pemadaman Listrik 7 Jam di Wilayah MLM, Apa yang Perlu Diketahui
Selain itu, Waryono menekankan bahwa penerima manfaat harus tetap terlibat dalam kegiatan sosial dan keagamaan di masyarakat, seperti masjid dan musala.
"Praktik ekonomi ini seharusnya tidak mengganggu aspek sosial dan religius. Sebaliknya, penerima manfaat harus mampu membangun hubungan sosial yang baik dengan masyarakat sekitar," katanya.