https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Hukum dalam Kendali Kecerdasan Artifisial

Muhammad Syahri Ramadhan SH MH Ketua Pusat Kajian Hukum Sriwijaya (SLC) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.-FOTO : IST-

BACA JUGA:Tak Ada Dasar Hukum, Pakar Tata Negara Sebut Usulan Hak Angket Ganjar Pranowo Hanya Gimmick Politik

Desakan masyarakat di dunia maya memberikan tekanan positif kepada aparat penegak hukum untuk tanggap dalam merespon permasalahan yang ada.

Proses penanganan kasus hukum jika kalah cepat dengan kekuatan viralnya kasus kejahatan, akan berdampak kepada citra penilaian aparat penegak hukum itu sendiri.  

Kejahatan yang diviralkan merupakan bentuk penghukuman kepada pelaku yaitu berupa sanksi sosial.

Sanksi sosial di sini seakan menjadi independent variabel (variabel yang mengingkat) dan membuat sanksi hukum sebagai dependent variabelnya (variabel yang diikat).

BACA JUGA:Kejagung RI Gigit Jari, Herman Mayori dan Bram Rizal Dapat Diskon Hukuman dari Hakim

BACA JUGA:Coreng Dunia Pendidikan, Disdik OKI Minta Oknum Guru PPPK Cabuli Murid Diproses Hukum

Sanksi sosial seakan diidentikan dengan nilai substansial suatu perkara hukum, sedangkan sanksi hukum diidentikan sebagai nilai prosedural.

Nilai substansial dari kasus hukum apabila ditemukan, maka mekanisme prosedur pemberian sanksi hukum akan mengikuti dengan sendirinya.

Dibalik segala kemudahan penggunaan AI dalam kehidupan masyarakat, bukan berarti terlepas dari aspek kekurangan.

Masalah gender terhadap perempuan menjadi permasalahan yang krusial dalam penggunaan AI.

BACA JUGA:Siapkan Skenario dan Alibi Bunuh Anak Angkat, Pasutri Berakting Dituntut Hukuman Mati

BACA JUGA:Cegah KDRT, Tri Tito Karnavian Lewat Sosialisasi Keluarga Sadar Hukum

Platform tersebut menggambaran pekerjaan rumah tangga lebih dicondongkan kepada perempuan dibandingkan laki – laki.

Mengurus anak – anak, rumah, dan keluarga lebih dikaitkan kepada tugas perempuan, sedangkan karier, bisnis dan gaji lebih dilekatkan kepada posisi laki – laki.

Adanya bias gender, homofobia, dan stereotip tersebut, jelas merupakan tantangan untuk menuju kedaulatan digital yang adil dan makmur.  

Mudahnya teknologi AI untuk menyerupai gambar maupun suara dari orang yang ‘biasa saja’ hingga tokoh masyarakat, juga berpotensi kepada persoalan kekayaan intelektual.

BACA JUGA:Dinyatakan Bersalah, Dani Alves Dihukum 4,5 Tahun Penjara

BACA JUGA:Tak Ada Dasar Hukum, Jangan Lakukan

Secara regulasi permasalahan ini sudah diantisipasi dengan ditebitkannya Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2023 Tentang Etika Kecerdasan Artifisial.

Dalam surat edaran tersebut, pada intinya harus memperhatikan nilai inklusivitas, kemanusiaan, keamanan, aksesibilitas, kredibilitas dan akuntabilitas, perlindungan data pribadi, pembangunan dan lingkungan berkelanjutan, serta kekayaan intelektual.

Surat edaran ini adalah bukti kekhawatiran bahwa teknologi AI dapat juga berpotensi kepada bentuk penyimpangan hukum seperti penyebaran info hoaks, ujaran kebencian, penyalahgunaan data pribadi, bahkan wanprestasi (ingkar janji) dalam bisnis berbasis digital.

Kerja dari kecerdasan buatan ini sekalipun dapat meniru aktivitas manusia pada umumnya.

BACA JUGA:Kejari Palembang Terima Pelimpahan Tahap II Kasus Gratifikasi Oknum PNS Inpektorat. Ini Kata Kuasa Hukumnya

BACA JUGA:Hukum Mencabut Uban yang Gatal

AI tetaplah diposisikan sebagai objek hukum yaitu benda tidak berwujud yang dikuasai oleh akal manusia sebagai subjek hukum.

Setiap produk teknologi jangan diposisikan sebagai kendali atas setiap bidang pendidikan, ekonomi, sosial bahkan hukum.

Teknologi tersebut harus dijadikan sebagai penunjang untuk mengurangi beban aktivitas, bukan mengurangi hak maupun kewajiban manusia itu sendiri.

Sebagaimana dinyatakan Satjipto Rahardjo, hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

BACA JUGA:Pendekar Hukum Umumkan Mengundurkan Diri dari Jabatan Menko Polhukam, Presiden Jokowi : (Kabinet) Sangat Solid

BACA JUGA:Eksaminasi Kejagung, JPU Kejari Lahat Diminta Banding Agar Hukuman Diperberat

Maknanya ialah hukum tersebut seyogianya diciptakan (making thelaw) demi adanya ketertiban dan kesejahteraan bagi manusia itu sendiri.

Jika hukum yang dibuat tidak memberikan rasa ketentraman, kebaikan bahkan keadilan bagi masyarakat.

Maka harus ada keberanian untuk mengubah kembali aturan hukum tersebut (breakingthelaw) dalam mewujudkan tujuan hukum itu sendiri (Satjipto Rahardjo, 2010: 13).

Berlaku sama dengan kecerdasan artifisial, teknologi tersebut harus mampu memberikan solusi atas kompleksitas kehidupan di dunia maya.

Jangan justru involusi yang harus dihadapkan berkat timbulnya pelanggaran atas dasar penyalahgunaan platform digital. (*)

Oleh : Muhammad Syahri Ramadhan SH MH
Ketua Pusat Kajian Hukum Sriwijaya (SLC) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan