https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Pernah Dilempari Api, Tapi Tak Pernah Masuk Rumah

PUSAT PEMERINTAHAN: Rumah Pangeran Sakatiga yang berada di Jalintim Km 40 Nomor 18 menjadi pusat Pemerintahan Marga Sakatiga dan menjadi saksi bisu sejarah. FOTO: ANDIKA/SUMEKS--

SUMATERAEKSPRES.ID - Rumah Pangeran Sakatiga pernah menjadi pusat Pemerintahan Marga Sakatiga. Lokasinya berada di Jalintim km 40 nomor 18 Dusun II Desa Sakatiga Seberang Kecamatan Indralaya, kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. 

RUMAH Pangeran Sakatiga sudah berusia ratusan tahun. Rumah ini menjadi saksi bisu sejarah sistem pemerintahan bagi marga Sakatiga. Dulunya, rumah ini jadi kediaman Pangeran Sakatiga terakhir, yaitu Pangeran Syafei. 

BACA JUGA:Inalillahi, Saat Sahur Rumah Bantuan Program Bedah Rumah di Plaju Kena Lalap Si Jago Merah, Begini Kejadiannya

BACA JUGA:Terlibat Bobol Rumah, Sudah Sembunyi di Kebun Jamaludin Masih Terciduk

Disebutkan bahwa, pangeran Syafei mulai mengemban amanat sebagai pesirah sejak 26 November 1925.  Budayawan Sumsel, Vebri Al Lintani mengatakan,  rumah tersebut dulunya didiami pengeran Hanafi berikut di mukimi juga oleh putranya Pangeran Syafei. "Rumah ini dulunya adalah rumah pangeran Hanafi, yaitu ayah dari pangeran Syafei," jelas Vebri. 

Gelar Pangeran diberikan sebagai kehormatan yang dianugrahkan ke pesirah dari masa Kesultanan Palembang sampai masa kolonial Belanda. "Pangeran ini adalah gelar dari pesirah yang sebenarnya di masa Kesultanan adalah tradisi. Ketika misalnya 2 kali di masa Sultan digelar oleh Sultan depati. Lalu 5 kali digelar pangeran," terang Budayawan Sumsel ini. 

Dibandingkan masa kolonial Belanda, di masa Kesultanan Palembang, memberikan gelar pangeran cukup sulit.  Lalu, dimasa kolonial belanda, gelar pangeran dapat diberikan untuk seseorang yang sudah 2 kali menjabat sebagai pesirah. 

Dimasa lalu, pesirah memiliki posisi yang sangat terhormat dan terbentuk secara kultural. Umumnya, tokoh yang terpilih merupakan sosok yang punya kharisma dan kepemimpinan yang tinggi. 

Sakatiga merupakan desa tua yang sudah ada sebelum berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. "Menurut Informasi yang saya dapat, Sakatiga itu berasal dari kata suku tiga. Pertama ada suku penesak diwakili  Sebetung. Kedua, Sangtiko dari suku belida atau belide. Ketiga, dari mataram Kuno namanya Bangkaliatang," sebut Vebri. 

Ketiga perwakilan suku ini dulunya pernah menghadap Kesultanan Palembang. Lalu, disetujui untuk membuat marga di daerah tersebut. Jadilah marga Sakatiga yang terdiri dari 3 unsur suku. 

Itulah kenapa, bahasa yang digunakan masyarakatnya sebagian dari suku penesak dengan dialeg Ogan 'E'. "Kalau di Meranjat dan pedamaran itu juga termasuk penesak, itu pakai dialeg 'O', tapi kalau di Sakatiga pakai dialeg 'E'. Kalau disana Siko, disini disebut Sike," ucapnya. 

Lanjut Vebri, tiga suku inilah yang kemudian membentuk peradaban Sakatiga. 

Setelah di setujui kesultanan, pada awalnya orang yang menjadi kepala marga bukan dari suku tiga tersebut. Lalu,  sekitar tahun 1870, baru keturunan bakaliantang bernama H Mantri dari suku mataram Kuno yang di tunjuk jadi pesirah atau kepala marga. 

Setelah H Mantri diganti Pangeran Hanafi, kemudian digantikan lagi oleh pangeran Syafei pada masa kolonial belanda. "Artinya pangeran penguasa di Sakatiga selama tiga kali berturut-turut pada masa belanda itu dipegang oleh keturunan dari Bakaliantang," tuturnya. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan