Sejarah Barongsai, Jejak Kesenian yang Meriahkan Perayaan Imlek
Kesenian Barongsai telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Imlek.-Foto: Freepik-
Namun, perkembangan Barongsai terhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI, dimana kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam dan Barongsai dilarang.
Situasi berubah setelah tahun 1998, di mana perubahan politik membawa kebangkitan kembali bagi Barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya.
BACA JUGA:Jelang Imlek, Berbagi angpau Untuk Warga Kurang Mampu
BACA JUGA:Tidak Lengkap Imlek tanpa Kue Keranjang, Begini Filosofinya
Banyak perkumpulan Barongsai kembali bermunculan, melibatkan tidak hanya kaum muda Tionghoa, tetapi juga kaum muda pribumi Indonesia.
Berbeda dengan masa lalu, di era pemerintahan Soeharto, Barongsai sempat tidak diizinkan untuk dimainkan, kecuali di kota Semarang.
Tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau Kelenteng Gedong Batu. Di sana, Barongsai masih dapat ditampilkan secara besar-besaran.
Tarian Barongsai terdiri dari dua jenis utama, yaitu Singa Utara dan Singa Selatan. Singa Utara, juga dikenal sebagai Peking Sai, memiliki bulu lebat berwarna kuning dan merah.
Tarian ini biasanya dimainkan dengan atraktif dan akrobatik, termasuk berjalan di tali, berjalan di atas bola, dan gerakan-gerakan beladiri Wushu.
Singa Selatan, yang lebih ekspresif, memiliki kerangka kepala dari bambu, dilukis, ditempeli bulu, dan dihiasi dengan berbagai variasi.
Dengan kebangkitan kembali Barongsai setelah tahun 1998, kesenian ini tidak hanya menjadi bagian integral dari perayaan Imlek, tetapi juga menarik minat masyarakat luas di Indonesia.
Barongsai menjadi bukti hidup dari keberlanjutan tradisi yang kini meriahkan berbagai festival dan acara budaya di tanah air. Sebuah perayaan kultural yang bersinar dalam keberagaman Indonesia. (Lid)