Produksi Karet Masih Minim, Tak Sebanding Luas Kebun yang Ada
ilustrasi prosuksi karet-Foto: sumeks-
PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Produksi karet yang dihasilkan dianggap tidak sebanding dengan luasan kebun karet saat ini. Padahal Sumsel memiliki kurang lebih 3 juta hektare perkebunan karet dan mengirim hasil produksi karet terbanyak ke Jepang dan beberapa negara di Benua Amerika.
"Lahan karet di Sumsel mencapai 3 hektare, namun produksi belum mencapai 1 juta ton per hektare. Hal ini yang memengaruhi pendapatan petani karet masih rendah," ujar Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel, Alex K Eddy.
Dikatakan, produksi karet alam di Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan mencapai kurang lebih 30 persen. Penyebab penurunan itu salah satunya dimulai sejak tahun 2017, dimana muncul wabah penyakit Pestalotiopsis sp atau dikenal gugur daun yang menjangkiti perkebunan karet.
Dia memperkirakan lebih dari setengah juta hektare kebun karet yang terdampak penyakit gugur daun dan mengakibatkan penurunan produktivitas mencapai 70%. Keadaan itu juga diperparah dengan usia pohon karet yang mayoritas sudah sangat tua dan jarang mendapatkan pupuk. “Ini (pupuk) juga yang menjadi keluhan masyarakat. Kenapa tidak ada pupuk subsidi yang dialokasikan untuk karet, ini PR bersama,” imbuhnya.
BACA JUGA:Daya Beli Masyarakat Cenderung Turun, 2 kg Karet Hanya Dapat 1 kg Beras
BACA JUGA:Ditemukan Anak dan Adik Ipar, Petani Sawit Meregang Nyawa di Kebun Karet. Ternyata Minum Racun Ini
Alex mengungkapkan Sumsel memiliki posisi yang cukup vital dalam industri perkaretan nasional. Hal itu berkaca dari luasan perkebunan karet, hasil produksi, serta ekspor karet yang terbesar di Indonesia. Pihaknya mencatat hasil produksi karet di Sumsel sejak tahun 2019-2021 masih berada di atas angka 900 ribu ton. Sementara pada tahun 2022 mengalami penurunan menjadi 895.033 ton. “Sedangkan di 2023 sampai dengan Oktober tercatat hasil produksi 652.110 ton,” ungkap dia.
Gapki menilai terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjaga eksistensi karet utamanya di Sumsel, diantaranya peremajaan yang komprehensif dan berkesinambungan, pemberdayaan, multiplikasi dan perluasan fungsi kelembagaan petani karet, menjaga ketersediaan dan keterjangkauan sarana produksi pertanian karet.
Di lain sisi Ketua Bidang Komunikasi, Publikasi dan Kampanye Positif GAPKI Sumsel, Anung Riyanta menyebut kunci keberlangsungan komoditas utamanya sawit yakni adanya hilirisasi. Akan tetapi, langkah hilirisasijuga patut diperkuat dengan adanya infrastruktur yang lebih kompleks, salah satunya kehadiran Pelabuhan Tanjung Carat yang telah lama digaungkan.
“Kalau kita bandingkan dengan daerah lain, selisihnya Rp200-300-an. Karena ekspor kita masih melalui Dumai dan daerah lain, sehingga biasa cost lebih tinggi,” pungkasnya. Berdasarkan data yang diterima Gapkindo Sumsel, produksi karet baru 1,7 ton per tahun pada akhir 2023 untuk seluruh hasil produksi dari perkebunan di Sumsel. Pencapaian produksi karet masih rendah dipengaruhi banyak pohon karet terdampak penyakit daun dan sudah banyak pohon tua.
BACA JUGA:Harga Karet Anjlok, Petani di Lahat Ramai-Ramai Beralih Tanam Ini!
BACA JUGA:Petani Karet Keluhkan Mahalnya Pupuk, Produksi Karet Turun
"Harga karet belum menunjukkan angka yang baik, masih 1,45 sgd dan masalahnya produktivitas karet di Sumsel rendah karena kualitas getah turun 30-40 persen akibat kelangkaan pupuk dan pemerintah tidak memberikan subsidi pupuk untuk komoditi karet," ungkap Alex lagi.
Alex mengakui Gapkindo Sumsel masih mencari solusi terbaik untuk menjawab tantangan produktivitas dan kualitas karet soal teknik peremajaan optimal dengan memberikan pupuk yang baik untuk mengatasi penyakit daun hingga ke akar. "Masalahnya, pupuk di tingkat petani, mereka sulit mencari pupuk yang bagus. Selain pengaruh kelangkaan pupuk dan harga cukup mahal," timpal dia.