Lapangan Bola’ di Puncak Abel, Bawah Cadas Tempat Aman
EVAKUASI : Tim SAR evakuasi jenazah pendaki korban erupsi Gunung Marapi.-Foto: Ist-
Erupsi Gunung Marapi, Tempat 23 Pendaki Meregang Nyawa
SUMATERAEKSPRES.ID - Gunung Marapi, meski salah satu yang paling aktif, tapi disukai pendaki. Namun, erupsi yang terjadi Minggu (3/12) lalu menyisakan duka lara. Cerita pendakian kali ini tak seindah Edelweiss, bunga yang jadi ciri khas di puncaknya.
Sebanyak 23 dari 75 pendaki Gunung Marapi yang terdata resmi ditemukan tak bernyawa. 52 lainnya berhasil selamat dari erupsi Minggu (3/12) sekitar pukul 14.54 WIB. Di luar yang resmi terdata, informasinya masih ada puluhan belum ada kabar.
Meletusnya gunung api berketinggian 2.891 mdpl ini ditandai dengan muntahan kolom abu berisi material vulkanik hingga 3.000 meter dari puncak kawah yang disertai suara gemuruh. Kejadiannya tiba-tiba.
“Kalau dapat informasi, memang sudah cukup lama statusnya siaga,” kata Febriansyah, mahasiswa semester V UIN Raden Fatah Palembang. Dia pernah mendaki Gunung Marapi ini tiga tahun lalu.
Namun, mendengar jatuhnya begitu banyak korban dari kalangan pendaki membuat dia ikut berduka. “Lihat kondisi mereka di foto dan video, sedih sekali. 23 pendaki itu saya yakin sedang berada di puncak Abel. Kalau yang selamat itu di bawah cadas, sekitar 1 jam di bawah puncak Abel,” katanya.
Puncak Abel itu berupa lapangan, lebih luas dari lapangan bola. Di situlah ada salah satu kawah Marapi yang aktif. Di sana, tidak ada pohon atau apa pun. Tanahnya tandus, bekas muntahan erupsi. “Kalau ada badai atau angin kencang, tidak ada tempat berlindung. Termasuk ketika erupsi terjadi,” bebernya.
Beda dengan di bawah cadas yang biasanya jadi tempat berkemah. “Di sana masih banyak pepohonan untuk tempat berlindung. Lagian pula, lokasinya masih cukup jauh dari kawah,” jelas Febriansyah. Kawah aktif lain ada di lembah antara puncak Abel dengan puncak Merpati. Sedangkan dari puncak Merpati ke puncak Garuda, tidak ada lagi kawah.
Jalan menuju puncak Garuda, harus melewati hutan “larangan”. Febriansyah yang 2020 lalu mendaki bersama sang kakak, bersyukur tidak mengalami kejadian erupsi. “Tidak mengalami juga kejadian yang aneh-aneh. Lancar saja,” imbuh dia.
Untuk naik ke gunung itu, Febriansyah harus naik motor dari pinggir jalan lintas Padang-Bukit Tinggi. Setelah bermotor sekitar 45 menit melewati beberapa perkampungan, barulah tiba di gerbang pertama Gunung Marapi.
Dari situ, berjalan kaki sekitar 30 menit untuk tiba di gerbang utama jalur pendakian. “Ada lima pos menuju puncak. Perjalanan antarpos makan waktu masing-masing sekitar 30 menit,” bebernya.
Pos terakhir, pos 5, berjarak sekitar 1 jam pendakian ke puncak Abel Tasman. Itulah tempat yang biasa pendaki mendirikan tenda dan istirahat kalau malam. Dalam perjalanan dari pos 1 hingga pos 5, pendaki tidak lagi bisa menemui air atau makanan.
Untuk itu, pendaki biasanya bawa stok makanan yang cukup. Atau beli di kelima pos yang ada. “Tapi, makin ke atas, minum atau makanannya makin mahal. Air mineral yang kecil saja bisa Rp20 ribu. Satu tahu goreng Rp4.000,” cerita Febriansyah.
Tak banyak cerita mistis dalam pendakian ke Gunung Marapi itu. Hanya antarsesama pendaki ada yang mengingatkan untuk tidak mendaki saat waktu magrib tiba. “Kalau mau lanjut mendaki, setelah magrib,” katanya.