Tiga Puluh Tahun Menangis
UNTUK bermunajat, Syaikh Ahmad Al-Ghaznawi menempati sebuah gua yang terletak di dekat Kota Syam. Cukup lama ia tinggal sendiri di dalam gua itu.
Suatu hari Syaikh Mu’inuddin mengunjunginya. Ketika melihat Syaikh Ahmad yang tubuhnya sangat kurus sedang duduk di atas sajadah. Di sampingnya duduk dua ekor harimau menemaninya, Syaikh Mu’inuddin sangat iba hatinya. Kondisi Syaikh Ahmad benat-benar sangat menyedihkan.
Melihat ada seorang tamu datang berkunjung ke tempatnya Syaikh Ahmad bertanya : “Siapa Anda dan datang dari mana?” “Aku Syaikh Mu’inuddin dari Bagda,”jawab Mu’inuddin. “Silakan duduk saudaraku dan selamat datang di tempatku yang kotor ini,'' kata Syaikh Ahmad memberi hormat.
“Mengapa Anda tinggal di tempat ini dan sudah berapa lama berada di sini?” tanya Syaikh Mu’inuddin seraya duduk di depan Syaikh Ahmad. “Sudah empat puluh tahun aku berada di dalam gua ini,”jawab Syaikh Ahmad. “Apa yang Anda lakukan?”
“Menyepi, menghindar dari keramaian. Dan selama tiga puluh tahun terakhir ini aku tak bisa berhenti dari menangis.” Mengapa?” tanya Syaikh Mu’inuddin. “Aku takut pada sesuatu.”
''Apa yang kau takutkan itu?” “Salat.” “Apa Maksud Anda?”
“Ketika aku mengerjakan salat, aku selalu menangis dan berkata dalam hati. Kalau saja dalam hal mengerjakan atau syarat-syaratnya sampai cacat salatku, walau sebiji Dzarrah, tentu akan sia-sia semua amalanku …”
Sejenak Syaikh Ahmad menghentikan ucapannya, kemudian ia menangis. “Oleh karena itu, wahai hamba Allah, bila engkau nanti lolos dari tuntutan salat (di akhirat kelat), berarti engkau berada dalam keuntungan. Tetapi jika tidak demikian, berarti engkau habiskan umurmu dalam kelalaian yang sia-sia.” (*/)