Utamakan Pemulihan Korban dan Lingkungan
Editor: Widhy Sumeks
|
Kamis , 03 Aug 2023 - 22:22
*Soal Dampak Kebocoran Pipa
OGAN ILIR – Insiden bocornya pipa gas Pertamina di Dusun II, Desa Tambang Rambang, Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir (OI) beberapa hari lalu, jadi perhatian Adrian Nugraha, SH, MH, PhD. Pengamat hukum lingkungan dari Universitas Sriwijaya itu berpendapat, seharusnya pemantauan lingkungan pipa gas lebih rutin dilakukan. Sesuai dengan kewajiban dalam RKL/RPL dokumen lingkungan mereka. Apalagi insiden kemarin, sempat membuat puluhan warga merasa mual, pusing, dan lemas. Sehingga tidak sedikit yang dirawat di rumah sakit. Serta yang lainnya jadi takut pulang ke rumah. Kata, Selain menurutnya, dalam Hukum lingkungan ada asas yg dikenal 'Strict Liability' atau pertanggungjawaban tanpa unsur kesalahan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban perdata yang diakomodir dalam hukum lingkungan di Indonesia melalui UU PPLH."Artinya tidak perlu dibuktikan apakah tindakannya melawan hukum atau tidak. Jika terjadi pencemara, maka pelaku usaha wajib bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi sebatas yang diderita korban," jelas Adrian.Dalam konteks hukum lingkungan, Adrian berpendapat kerugian yang diderita korban dan jika ada lingkungan alam yang rusak, karenanya harus dipulihkan seperti sedia kala. Minimal memberikan bantuan untuk pemulihan kesehatan korban. Serta pemulihan kondisi fisik lingkungan, jika ada kondisi fisik lingkungan yang rusak. "Intinya ganti kerugian di dalam hukum lingkungan untuk mengembalikan seperti keadaan semula. Bukan untuk mendapatkan keuntungan materiil, seperti gugatan perdata murni," ungkapnya. Namun melanggar atau tidak, itu harus dibuktikan dengan ahli pemipaan. Seharusnya secara teknis sudah mereka pertimbangkan untuk dimasukkan dalam dokumen lingkungannya. Tapi secara hukum lingkungan, apakah sudah melaksanakan dengan konsisten RKL/RPL di Dokumen Lingkungan mereka atau belum. “Dipantau secara rutin atau tidak? Apakah pemantauan dilakukan secara serius atau hanya formalitas belaka, itu juga perlu dipertimbangkan," sebutnya. Sebab sebenarnya jika asas'Strict Liabilty' dalam UU PPLH dilaksanakan secara konsisten, itu cukup memberikan perlindungan hukum terhadap korban. Adrian memberikan saran, agar mediasi lingkungan perlu dilakukan lebih dulu. Sebelum mengajukan class action/ gugatan ke pengadilan.
"Intinya saya berpendapat bahwa ganti rugi yang dituntut untuk pemulihan kesehatan korban. Meskipun pada beberapa kajian, ganti rugi ini juga mencakup ganti kerugian ekonomi, seperti ganti kerugian pendapatan yang hilang selama korban sakit," ulasnya.Polluter pays principle berdampingan dengan Strict Liability dalam Asas Hukum Lingkungan. Artinya, dalam konsep hukum lingkungan tidak diperlukan pembuktian kesalahan seperti pada tanggung jawab perdata konvensional. Berbicara soal sanksi, bisa dikenakan 3 macam. Baik perdata, administrasi maupun pidana. Sanksi utama yang bisa dikenakan utama perdata seperti ganti rugi, administrasi pembekuan/ pencabutan izin. Pidana juga perlu mempertimbangkan berlakunya asas ultimum remedium. Apabila suatu perkara dapat ditempuh melalui jalur lain seperti hukum perdata ataupun hukum administrasi hendaklah jalur tersebut ditempuh sebelum mengoperasionalkan hukum pidana. "Saya berpendapat, untuk sanksi lebih diutamakan perdata dan administrasi," sebutnya. Yang ditekankan adalah pemulihan korban atau lingkungan fisik seperti kedaan semula. Sanksi Administrasi sebenarnya juga sudah memberikan penjeraan ke pelaku usaha jika izinnya dibekukan atau dicabut. Sanski pidana sifatnya ultimum remedium atau pemulihan akhir, jika sanksi perdata dan administrasi tidak membuat pelaku usaha jera. (dik/air)