TRANSFORMASI MPLS RAMAH 2025 BERFOKUS PADA HAK ANAK DAN KARAKTER
Muhammad Isnaini (Pengamat Pendidikan dan Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Raden Fatah Palembang). Foto:Ist--
Keduanya secara eksplisit melarang tindakan kekerasan dalam bentuk apapun selama pelaksanaan MPLS dan mengamanatkan bahwa kegiatan harus dipandu oleh guru, bukan siswa senior.
BACA JUGA:Desak Made Raih Perak
BACA JUGA:Resmi Dicoret, Crystal Palace Turun Kasta
Pentingnya Masa Transisi yang Sehat
Masa awal memasuki sekolah adalah periode krusial dalam pembentukan identitas diri anak.
Erik Erikson menyebut tahap ini sebagai fase “industry vs. inferiority”, di mana anak berjuang menemukan kompetensinya dan merasa diterima dalam lingkungan sosialnya.
Ketika MPLS dipenuhi tekanan, perlakuan diskriminatif, atau hukuman tidak manusiawi, siswa akan mengalami krisis kepercayaan diri.
BACA JUGA:Kurikulum 2025, Inti Perubahan dan Nomenklatur Baru yang Wajib Diketahui Guru
BACA JUGA:Sinergi Ilmu dan Kebijakan untuk Palembang Lebih Hijau, Adil, serta Berkelanjutan
Alih-alih menciptakan karakter yang tangguh, pendekatan represif justru menumbuhkan inferioritas dan ketakutan yang berdampak negatif dalam jangka panjang.
Sebaliknya, MPLS yang menyenangkan dan mendidik akan memupuk keberanian, kepercayaan diri, serta kemampuan sosial yang kuat.
Itulah sebabnya MPLS Ramah 2025 diposisikan sebagai gerakan nasional membangun generasi pelajar Pancasila yang tangguh, mandiri, dan inklusif.
BACA JUGA:Tebar Pesona Sekaligus Branding
BACA JUGA:Nelayan Kena Tembak, Bukan Peluru Tajam, Lanal Palembang Selidiki Satuan dan Personel
Menolak Kekerasan, Merayakan Empati
MPLS bukan tempat untuk “ujian mental” atau “tradisi kekompakan” yang berbentuk kekerasan.
Tugas atau atribut tidak mendidik seperti membawa barang aneh, mengenakan pakaian merendahkan, hingga pelecehan verbal, harus dihentikan.
