Dalam situasi itu, Nadiem mencoba menjawab dengan percepatan digitalisasi: bantuan kuota, platform daring, dan pengadaan Chromebook untuk sekolah. Di atas kertas, ini tampak seperti langkah logis. Jika belajar harus lewat layar, maka laptop adalah kunci.
Tetapi realitas di lapangan kembali membisikkan ironi. Di kota, anak-anak bisa mengikuti Zoom. Di desa, ada yang harus naik bukit, mencari sinyal di bawah pohon, sambil menahan panas terik. Laptop boleh hadir, tetapi jika jaringan tak ada, ia hanyalah besi dingin. Di sinilah masyarakat kembali melihat: bahwa teknologi tanpa pemerataan hanyalah papan reklame raksasa. Besar, indah, tapi tak bisa melindungi siapa pun ketika hujan datang.
BACA JUGA:Dinyatakan Lengkap, Tunggu Jadwal Sidang, Perkara Korupsi Pembuatan Peta Desa di Kabupaten Lahat
Dari Inovasi ke Ironi
Masalahnya tidak berhenti di situ. Chromebook yang tadinya dipromosikan sebagai pintu masuk era digital, justru menjadi pintu masuk kasus hukum. Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem sebagai tersangka korupsi pengadaan Chromebook, dengan kerugian negara ditaksir hampir Rp 2 triliun.
Publik terhenyak. Nama yang dulu diasosiasikan dengan inovasi, kini berdampingan dengan kata “korupsi”.
Seperti bunga yang mekar indah di pagi hari, namun petangnya tiba-tiba dilanda badai.
Inilah ujian yang sesungguhnya. Sebab seorang menteri bisa menghapus ujian nasional untuk jutaan siswa, tetapi ia sendiri tidak bisa menghindar dari ujian integritas yang digelar publik.
BACA JUGA: Nama Kadishub Banyuasin Terseret dalam Sidang Dugaan Korupsi Retribusi Parkir
BACA JUGA:Kejagung Kawal Ketat Revitalisasi Sekolah, Antisipasi Pungli dan Korupsi di Dinas Pendidikan
Pendidikan Butuh Teladan
Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu. Ia adalah pewarisan nilai. Anak-anak belajar dari buku, tapi lebih banyak mencontoh wajah orang dewasa. Sekolah akan terasa tak bernilai jika siswanya dilarang merokok sementara gurunya masuk ruang kelas sambil merokok. Ketika seorang menteri pendidikan terseret kasus integritas, pertanyaannya sederhana namun menohok: bagaimana kita bisa mendidik kejujuran jika teladan di puncak justru retak?
Masyarakat boleh saja memaafkan keterbatasan infrastruktur, tetapi sulit memaafkan pengkhianatan pada integritas. Sebab ketidakjujuran adalah virus yang menular lebih cepat daripada pandemi. Dan jika itu dibiarkan, maka seluruh sistem pendidikan bisa lumpuh, bukan oleh kurangnya kurikulum, tapi oleh hilangnya kepercayaan.
Tiga Renungan dari Kisah Nadiem
Dari perjalanan Nadiem, ada setidaknya tiga pelajaran yang bisa kita renungkan: