"Meski sudah sangat jarang, tapi tradisi ini masih bisa ditemui pada beberapa lokasi. Seperti Kelurahan Kuto Baru, 26 Ilir, Kelurahan 14 Ulu Kampung Arab hingga di daerah 1 dan 2 Ulu,"
Kiagus Abdullah Syafe’i
Tokoh budaya Palembang
“Tradisi Pantauan biasanya dilakukan di pedesaan ketika ada acara resepsi pernikahan dan musibah kematian. Tapi saat ini tradisi pantauan juga dilakukan di perkotaan ketika Lebaran Idulfitri,” paparnya.Budayawan Sumsel, Dr Erwan Suryanegara MSn mengatakan, pada umumnya tradisi di Sumsel sama saja. “Kita termasuk suku melayu, jadi tidak hanya di Sumsel. Di Bengkulu, Lampung, Jambi dan Bangka Belitung termasuk Kepulauan Riau yang notebene-nya merupakan rumpun melayu, tradisinya agak mirip-mirip,” jelas dia.
Boleh jadi di Sumsel beda-beda etnik atau suku. Tapi, terkait Lebaran cenderung tidak ada perbedaan. “Kalau kita lihat kuliner sama. Walaupun mereka berbeda etnik. Misalkan dari Komering, Sekayu, Lahat, ketupat, opor sama,” ujarnya.Lebaran merupakan satu kesatuan dengan ajaran keimanan masyarakat muslim Sumsel. “Karena itu, perbedaaannya sedikit sekali. Karena konsep silaturahim, saling maaf-memaafkan. Sama,” imbuh Erwan. Tradisi silaturahmi menurutnya sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Bahkan pada abad ke-3 Masehi, sudah ditemukan tiang-tiang bekas rumah panggung di daerah Banyuasin. Saat Lebaran, ada tradisi “nurun makanan ke masjid’. “Tradisi memberi jemaah masjid makanan, oleh warga yang tinggal di rumah panggung, Rumah Limas, Rumah Ulu atau Rumah Bari kalau di Lahat. Tiang rumah panggung ini sudah ada abad ke-3. Artinya silaturahmi Lebaran juga sudah mulai dilakukan sejak dulu,” tandas Erwan. (kms/gti/iol)
Kategori :