SUMSEL, SUMATERAEKSPRES.ID - Gejolak ekonomi global makin mengkhawatirkan. Tiga bank besar, yakni BCA, Danamon dan BTN telah mencatatkan nilai jual Rp17 ribuan/1 dolar AS, kemarin (9/4). Sebelumnya, The Fed mencatat, pada 7 April 2025 pukul 10.43 WIB, nilai tukar mata uang rupiah mencapai Rp17.261 per dolar AS. Pada 4 April 2025, rupiah juga sempat menyentuh level Rp17.006 per dolar AS.
Diduga, hal ini juga ada kaitan Trump Effect, di mana Amerika Serikat menerapkan tarif resiprokal terhadap barang-barang impor. Termasuk dari Indonesia. Kondisi ini menjadi pertanda terjadinya pelemahan rupiah terhadap dolar. Jika itu terjadi terus, banyak sektor terdampak.
Ekonom Sumsel dari Universitas Sriwijaya Sri Rahayu mengatakan, dari sisi eksternal, tekanan terhadap rupiah berasal dari kebijakan moneter Amerika Serikat. Kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) membuat dolar AS semakin kuat, yang menyebabkan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, tertekan. Selain itu, ketidakpastian global seperti krisis ekonomi di Eropa dan ketegangan perdagangan antara AS dan China mendorong investor untuk mengalihkan aset mereka ke mata uang yang dianggap lebih aman, yakni dolar AS.
Sementara itu, faktor internal seperti inflasi dan defisit anggaran juga turut memperburuk kondisi rupiah. Salah satu penyumbang inflasi dalam beberapa hari terakhir adalah lonjakan harga emas yang menambah tekanan terhadap perekonomian domestik. Ketika inflasi tinggi dan anggaran negara mengalami defisit, kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi menjadi goyah, sehingga rupiah semakin melemah.
BACA JUGA:Tol Palembang-Betung Kurangi Kemacetan dan Dongkrak Ekonomi Banyuasin
Pelemahan rupiah ini berdampak langsung terhadap utang luar negeri Indonesia. Karena sebagian besar utang pemerintah dan swasta Indonesia berdenominasi dalam dolar AS, depresiasi rupiah menyebabkan nilai utang tersebut dalam rupiah membengkak. Hal ini membebani anggaran negara dan mempersempit ruang fiskal pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam kondisi seperti ini, seringkali bank sentral merespons dengan menaikkan suku bunga untuk meredam tekanan terhadap nilai tukar. Namun, kebijakan ini memiliki risiko lain. Harapannya adalah kenaikan suku bunga akan meningkatkan tabungan masyarakat, namun di sisi lain hal ini juga akan menurunkan investasi karena biaya pinjaman menjadi lebih mahal. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi bisa melambat, kesempatan kerja menurun, dan tingkat pengangguran meningkat. Maka, kebijakan suku bunga tinggi yang bertujuan memperkuat kurs rupiah bisa menjadi solusi semu jika tidak dibarengi dengan kebijakan pendukung lainnya.
Secara keseluruhan, tren pelemahan rupiah saat ini menjadi alarm penting bagi stabilitas ekonomi nasional, terutama terkait dengan utang luar negeri. Pemerintah perlu merespons dengan strategi yang seimbang antara menjaga stabilitas makroekonomi, mendorong investasi, dan melindungi daya beli masyarakat.
Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, bahaya sesungguhnya tidak terletak pada angka itu semata. Tapi ada korelasi dengan kerapuhan fundamental ekonomi Indonesia.
BACA JUGA:Tarif Impor AS 32 Persen, Kadin Sumsel Peringatkan Dampak Besar bagi Ekonomi Indonesia
BACA JUGA:Dukung Pengembangan Ekonomi Kreatif, Pelaku Usaha di Lahat Harapkan Sentra Khusus
Pelemahan tajam Rupiah yang kita saksikan dalam beberapa waktu terakhir adalah pemicu utamanya. “Setiap depresiasi rupiah secara otomatis menggelembungkan nilai utang luar negeri (LN) dalam mata uang lokal," jelas dia.
Menyikapi tekanan global yang memicu gejolak nilai tukar, Bank Indonesia melakukan langkah intervensi untuk menjaga stabilitas rupiah. Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah Sumatera Selatan, Ricky P Ghozali menyatakan, intervensi dilakukan secara terukur dan berkelanjutan untuk melindungi perekonomian nasional, termasuk wilayah Sumsel.
“Bank Indonesia memutuskan intervensi di pasar off-shore Non Deliverable Forward (NDF) sebagai respon atas tekanan eksternal yang cukup tinggi. Ini penting untuk menjaga nilai tukar Rupiah tetap stabil di tengah ketidakpastian global,” ujar Ricky.