SUMATERAEKSPRES.ID - Dugaan praktik pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia telah menjadi masalah yang semakin kompleks. Salah satu dugaan kasus yang terjadi adalah pencampuran Pertalite dengan zat aditif tertentu untuk menyerupai Pertamax.
Motif utama dari praktik ilegal ini adalah mencari keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan disparitas harga antara kedua jenis BBM tersebut. Namun, dampaknya tidak bisa dianggap sepele.
BACA JUGA:Tergiur Upah Rp2 Juta Warga Lahat Nekat Oplos Pertamax dengan Minyak Olahan, Ini Akibatnya
BACA JUGA:Sopir Mobil Tangki Ditangkap karena Oplos Pertamax dengan Minyak Olahan, Terima Upah Rp2 Juta
Selain merugikan negara dan masyarakat, pengoplosan BBM juga berdampak negatif terhadap performa kendaraan dan meningkatkan pencemaran lingkungan akibat emisi gas buang yang tidak terkendali.
Dalam konteks yang lebih luas, fenomena ini mencerminkan permasalahan mendasar dalam sektor energi di Indonesia, yaitu ketergantungan tinggi terhadap bahan bakar fosil yang rentan terhadap manipulasi dan penyalahgunaan.
Oleh karena itu, transisi ke energi baru terbarukan (EBT) menjadi sebuah keharusan untuk menciptakan sistem energi yang lebih bersih, efisien, dan berkelanjutan.
Secara ilmiah, angka oktan (Research Octane Number, RON) menunjukkan tingkat ketahanan bahan bakar terhadap knocking atau detonasi dalam mesin. Pertalite memiliki RON 90, sedangkan Pertamax memiliki RON 92. Pengoplosan dilakukan dengan menambahkan aditif seperti toluena, MTBE (Methyl Tert-Butyl Ether), atau zat kimia lain yang dapat meningkatkan nilai oktan.
Namun, pencampuran ini tidak melalui proses standar kilang minyak yang dikontrol ketat oleh Pertamina dan institusi terkait, sehingga kualitasnya tidak terjamin.
Dampak negatif dari pengoplosan BBM sangat luas. Dari segi teknis, penggunaan BBM oplosan dapat menyebabkan kerusakan pada mesin kendaraan akibat pembakaran yang tidak sempurna dan munculnya residu yang menghambat kinerja mesin.
Selain itu, pengoplosan juga berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas beracun seperti karbon monoksida (CO) dan nitrogen oksida (NOx), yang memperburuk kualitas udara dan berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat.
Tidak hanya itu, penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses pengoplosan meningkatkan risiko kebakaran dan ledakan yang dapat membahayakan pelaku maupun lingkungan sekitar.
Dari sisi ekonomi, praktik ini merugikan negara karena mengurangi efektivitas distribusi BBM bersubsidi serta menciptakan ketidakadilan bagi konsumen yang membayar untuk produk berkualitas namun mendapatkan bahan bakar oplosan dengan kualitas rendah.
Dugaan Praktik pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax hanyalah satu dari sekian banyak permasalahan yang timbul akibat ketergantungan Indonesia pada BBM berbasis fosil.
Transisi ke EBT menjadi solusi jangka panjang yang tidak hanya mengatasi masalah lingkungan, tetapi juga meningkatkan ketahanan energi nasional.