Salah satu kelenteng tertua dan terbesar di Kota Palembang, Kelenteng Chandra Nadi atau Kelenteng Dewi Kwan Im 10 Ulu, biasanya yang paling banyak dikunjungi.
“Momen Imlek, puluhan ribu umat datang sembahyang di kelenteng ini. Untuk puncak Imlek tahun ini, kita target bisa lebih dari 20 ribu umat yang datang beribadah,” kata Ketua Martrisia Komda Sumsel, Chandra Husien.
Kelenteng Chandra Nadi dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda. sekitar 300-400 tahun silam.
Kelenteng ini sendiri memiliki sejarah panjang terhadap perkembangan warga Tionghoa di Kota Palembang.
Awalnya dibangun oleh para pendatang Tionghoa ke Palembang untuk berdagang. Selain berdagang, membawa serta tradisi dan kepercayaan mereka.
Termasuk juga pemujaan kepada Dewi Kwan Im, yang lebih dikenal sebagai Dewi Welas Asih di dalam agama Buddha dan Tridharma.
Bertahun-tahun kelenteng ini telah menjadi pusat kegiatan keagamaan dan budaya bagi komunitas Tionghoa yang ada di Palembang.
"Kelenteng Chandra Nadi sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu, dan hingga kini masih terus terjaga,” tegas Chandra Husien.
Selain sebagai tempat ibadah, Kelenteng Chandra Nadi juga sering digunakan untuk berbagai upacara tradisional dan perayaan.
Seperti Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Arsitektur kelenteng ini mencerminkan gaya tradisional Tionghoa dengan ornamen yang indah dan penuh makna.
Katanya, ada beberapa legenda yang terkait dengan Kelenteng Chandra Nadi. Salah satu legenda yang terkenal, adalah tentang asal-usul kelenteng ini.
Menurut cerita, zaman dahulu ada seorang pedagang Tionghoa yang kaya raya itu bermimpi Dewi Kwan Im muncul dan memintanya untuk membangun sebuah tempat ibadah di Palembang.
Pedagang tersebut merasa bahwa mimpi itu adalah petunjuk. Sehingga dia memutuskan untuk membangun kelenteng sebagai bentuk penghormatan dan juga rasa terima kasih kepada Dewi Kwan Im.
“Setelah kelenteng selesai dibangun, pedagang tersebut mengalami keberuntungan besar dalam usahanya.Sehingga kelenteng tersebut menjadi tempat yang dihormati oleh komunitas Tionghoa setempat,” jelas Chandra Husein.
Legenda lain, menceritakan tentang seorang nelayan yang tersesat di laut dan berdoa kepada Dewi Kwan Im untuk keselamatan. Setelah berdoa, dia melihat cahaya terang yang membimbingnya kembali ke daratan.
Sebagai tanda terima kasih, nelayan itu lalu mendirikan sebuah altar kecil di tempat yang sekarang menjadi Kelenteng Chandra Nadi. “Altar tersebut kemudian berkembang menjadi kelenteng yang kita kenal hari ini,” tuturnya.