Bukan Bencana Alam
Banjir yang kerap melanda Palembang karena kombinasi faktor. Selain curah hujan tinggi, muka air Sungai Musi naik, berkurangnya daerah resapan (rawa), terhambatnya air dari jaringan mikro-sekunder dan rusaknya daerah aliran sungai (DAS).
Hal ini dibahas dalam webinar nasional dalam rangka peringatan Hari Air Sedunia yang digelar Himpunan Ahli Tehnik Hidraulik Indonesia (HATHI) Sumsel bersama Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) VIII. Tema yang diangkat "Drainase Perkotaan untuk Kesejahteraan Masyarakat".
Kepala BBWS VIII, Maman Noprayamin menyampaikan, Sungai Musi punya 9 anak sungai. Semua bermuara ke Sungai Musi sehingga akumulasi debit akan mempengaruhi tinggi muka air di Kota Palembang.
Belum lagi kondisi DAS saat ini sebagian besar di ulu curam. Di wilayah tengah agak melandai. Sedangkan di bagian yang mendekati pertemuan Sungai Musi kondisinya curam. “Ini berpengaruh terhadap sedimentasi di Sungai Musi,” bebernya.
Sedimen tinggi menunjukkan rusaknya DAS, karena gundulnya hutan di sepanjang aliran sungai. Menyebabkan erosi. Sedimentasi terbawa sampai ke Sungai Musi. Terlihat dari keruhnya air Sungai Musi.
BACA JUGA : Mulai Pamitan"Dengan rusaknya DAS, maka akan mempengaruhi daya rusak air. Banjir tidak akan berkurang karena sedimen tinggi," jelasnya. Palembang yang sebagian besar rawa (sekitar 56 persen), "Tapi lahan rawa atau ruang air ini kian berkurang karena pembangunan, tekanan jumlah penduduk," jelasnya.
Belum lagi permasalahan seperti sampah, bangunan di atas drainase, dan lainnya.
Untuk mengurangi debit puncak, dengan membuat reservoir, long storage, dan kolam retensi. Lalu, membatasi area pergerakan air dengan tanggul banjir. Mengurangi elevasi muka air banjir dengan perbaikan saluran.
"Atau melakukan pemindahan aliran dengan kanal banjir atau sodetan, Pengurangan limpasan dengan manajemen kawasan berkoordinasi dengan kabupaten tetangga (OI, Banyuasin) dan upaya lainnya," papar Maman.
Kepala Dinas PUPR Kota Palembang, Ahmad Bastari menjelaskan, Palembang yang merupakan daerah rendah terendam karena terpengaruh pasang. "Karena itu, kerap terjadi genangan/banjir. Walau tidak hujan, tapi disebabkan pasang Sungai Musi," imbuhnya.
Saat hujan ekstrem Oktober 2022 lalu pihaknya mencatat ada 15 titik banjir yang lama surut. Penyebabnya, karena saluran tertutup, sedimentasi, bangunan diatas drainase dan lainnya. Saat ini sudah ada 46 kolam retensi dan akan terus ditambah. Pompa pengendalian banjir hingga tim OP banjir standby 24 jam.
Untuk mengembalikan ruang air, 300 bangunan sudah dibongkar. Pihaknya dibantu 36 komunitas peduli sungai. Ahli Drainase Perkotaan, Prof Dr Ir Suripin ASIAN.Eng mengatakan, air hujan bukan pemicu musibah, tapi berkah. Bukan pula sumber bencana, tapi sumber daya.
“Banjir bukan bencana alam, tapi bencana yang dipicu aktivitas manusia yang tidak seimbang,” tegasnya. Prof Dato' Dr Ir Achmad Syarifudin MSc menyampaikan, peringatan Hari Air Sedunia tahun ini sejalan dengan kampanye global HAD 2023 "Be The Change". Mendorong masyarakat dunia mengambil peran dalam cara menggunakan, mengonsumsi dan mengolah air. (tin)