SUMATERAEKSPRES.ID - Tragedi dunia peradilan kembali terjadi di tanah air kita. Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo sebagai tersangka penerima suap terkait vonis bebas terhadap Ronald Tannur, serta Lisa Rahmat, pengacara Ronald Tannur.
Tidak cukup sampai disitu saja, Kejagung juga menangkap Zarof Ricar, mantan Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan, dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung. Penangkapan para pihak tersebut menambah panjang daftar hakim, perangkat peradilan, dan pengacara yang terlibat kasus mafia hukum.
Berdasarkan data KPK, hakim dan perangkat peradilan masih cukup banyak menjadi pelaku korupsi.World Justice Project, Rule of Law Index 2021 menunjukkan korupsi di sektor peradilan masih menjadi persoalan.
Nilai Indonesia apada indeks ini ialah 0,52. Dari skala 0-1, semakin mendekati 1, kian baik skor sebuah negara.Indonesia berada diperingkat ke-68 dari 139 negara yang dikaji. Pada indikator ketiadaan korupsi, subindikator lembaga peradilan berada di posisi kedua terendah dengan nilai 0,33, sedikit lebih baik daripada legislatif 0,28 (Kompas, 23/9/2022).
BACA JUGA:Kejaksaan Kembalikan Dana Korpri Banyuasin Senilai Rp342 Juta
Bagi sebagian masyarakat, dugaan adanya kolusi, bahkan korupsi, di lingkungan peradilan bukanlah suatu yang aneh atau mengejutkan. Sudah tidak menjadi rahasia di kalangan praktisi hukum, bahwa mereka tidak boleh bergantung hanya kepada argumentasi-argumentasi yuridis untuk memenangkan perkara yang mereka tangani di pengadilan.
Pendekatan-pendekatan “non-yuridis” sangat diperlukan, bahkan tidak jarang lebih menentukan dari faktor-faktor yuridis.Tertangkapnya beberapa hakim dan perangkat peradilan tersebut merupakan indikasi bagaimana mengkhawatirkan tingkat kolusi di lingkungan peradilan Indonesia.
Bentuk kolusi di lembaga peradilan antara lain mulai dari penyuapan terhadap oknum hakim secara langsung sampai percaloan perkara yang dilakukan pegawai pengadilan.
Modus operandi percaloan perkara beraneka ragam.Dari permintaan melihat nomor perkara, pesanan agar perkara diperiksa majelis hakim tertentu, minta perkara diperiksa secepatnya, menjadi penghubung dengan hakim yang memutus perkara, membocorkan isi putusan sampai pada perbuatan memalsukan isi putusan.
BACA JUGA:Gugur, 70 Peserta Tak Hadir Tes SKD CPNS Kejaksaan di Sumsel
BACA JUGA:Kejaksaan Negeri Palembang Ajukan Banding atas Kasus Pembunuhan Siswi SMP
Fenomena kolusi di lembaga peradilan kita ini mengingat kita pada penelitian yang pernah dilakukan Marc Galanter di Amerika Serikat.Penelitian Galanter (1974) menunjukkan bahwa fenomena “dagang hukum” atau kolusi juga terjadi dalam praktik peradilan di AS yang dilakukan oleh orang-orang kaya.Galanter secara analitis mengetengahkan orang yang secara sosial ekonomi lemah cenderung kalah dalam memperjuangkan keadilan.
Dalam penelitiannya, Galanter juga mengungkapkan, meski tiap orang memiliki akses untuk mendapatkan keadilan, namun ternyata yang disebutnya sebagai the haves (memiliki kemampuan mengiming-iming atau “merepresi” hakim untuk merekayasa putusan) acapkali memiliki akses yang besar memenangkan perkara. Situasi serupa terjadi di negeri kita tercinta ini.
Meski ungkapan itu barangkali terkesan dan terasa tendensius, namun secara obyektif dapat dibuktikan. Pihak the haves memiliki modal untuk mendapatkan advokat terkenal dan mahal yang aksesnya pada oknum hakim amat besar. Sebaliknya, orang-orang tak mampu, jangankan menyewa pengacara atau advokat, membayar perkara ke pengadilan saja belum tentu mampu.