Akibatnya, tidak heran jika banyak terdakwa yang tergolong the haves dapat bebas dari tuntutan hukum, dijatuhi hukuman ringan, atau memenangkan perkara. Sementara bagi yang tidak mampu hanya dapat meneteskan air mata menerima kekalahan yang direkayasa.
Memanipulasi atau merekayasa putusan itu bukan hal yang sulit dilakukan.Sebab suatu perkara itu jarang yang “lempeng”, artinya “gambaran”nya hampir selalu dapat di “ubah-ubah”.Misalnya, dari perbuatan melanggar hukum menjadi perbuatan yang tidak melanggar hukum.
Cuma dari setiap perkara ada nuansanya yang berbeda-beda. Tampak jelas garis batas antara “melanggar hukum” dan “tidak melanggar hukum” itu, meski ada yang garis batasnya tidak jelas kelihatan. Disinilah kebanyakan orang bermain, memanipulasi atau merekayasa putusan (Adi Andojo Soetjipto, 1996).
Dalam proses-proses peradilan, pihak-pihak yang berperkara seringkali mengagendakan kolusi dengan oknum hakim yang menangani perkara.Seakan mengadakan kolusi dengan hakim merupakan “tiket” memenangkan perkara.
Untuk mengeliminasi kondisi demikian, memang bergantung pada dedikasi aparat penegak hukum negeri ini.Rasanya sulit kita mengharapkan Mahkamah Agung dapat memperbaiki integritas dan moralitas hakim, karena Mahkamah Agung juga bagian dari masalah.
Berulangnya kasus-kasus suap di dunia peradilan menjadi bukti tidak efektif pengawasan internal yang dilakukan MA.Pengawasan lebih efektif jika dilakukan oleh pihak eksternal, yaitu melalui Komisi Yudisial (KY).
Studi dari sejumlah negara menunjukkan, pengawasan eksternal akan lebih efektif dibandingkan dengan pengawasan internal. Namun, sayangnya kewenangan KY dilemahkan sendiri oleh MA dengan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006.Akibatnya, KY hanya bisa memberikan rekomendasi kepada MA, sementara eksekusinya tetap di Badan Pengawasan MA.Juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, berulangnya kasus suap di lembaga peradilan harus menjadi fokus sinergitas KY dan MA untuk menyelesaikannya.
Sudah saatnya hakim untuk lebih banyak bertanya kepada hati nuraninya, daripada perutnya.Bagaimanapun kita sangat membutuhkan citra pengadilan yang baik, karena jika peradilan telah kehilangan kewibawaannya dan putusannya tidak lagi dihiraukan, maka tentu saja, tidak lagi tersisa sesuatu apapun yang mampu menyelesaikan bengkalai masalah yang memecah dan merobek-robek tatanan sosial.
Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan lembaga penegak hukum dapat mendorong masyarakat untuk menyelesaikan sengketa atau kasus-kasus mereka di luar sistem hukum yang ada.Hal ini dapat memicu disintegrasi sosial.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin mengatakan bahwa walaupun dunia peradilan kita diterpa prahara, namun masih banyak hakim di negeri ini yang berdedikasi tinggi, memiliki integritas dan moralitas yang baik dalam melaksanakan tugasnya Hakim yang seperti ini sadar, bahwa yang mereka putuskan di sidang pengadilan adalah keadilan dan bukan kebatilan.(*)