Husni Thamrin: Tak Lebih dari ‘Sekolah Kriminal’, Bukan Rehabilitasi
SUMATERAEKSPRES.ID - Berdasarkan data dari laman https://sdppublik.ditjenpas.go.id/#, terungkap jelas kalau telah terjadi over kapasitas pada hampir semua Rutan dan Lapas di Sumsel. Rata-rata kelebihan kapasitasnya mencapai 122 persen lebih.
Diketahui, jumlah tahanan dewasa laki-laki Rabu (20/11) pukul 18.30 WIB berjumlah 2.360 orang dan yang perempuan 118 orang. Total 2.500 orang. Sedangkan tahanan anak laki-laki 20 orang dan perempuan 2 orang. Total 22 orang.
Ada pun untuk narapidana (napi) dewasa laki-laki berjumlah 12.571 orang dan perempuan 587 orang, total 13.158 orang. Sementara napi anak laki-laki 105 orang dan perempuan 1 orang. Total 106 orang. Jika dijumlahkan, tahanan dan napi se-Sumsel sebanyak 15.764 orang.
Jumlah ini jauh lebih banyak dari daya tampung di semua rutan dan lapas yang ada di 17 kabupaten/kota se-Sumsel. Kapasitas yang ada hanya untuk menampung 7.088 orang. Dengan kata lain, terjadi over kapasitas mencapai 122 persen lebih.
Pengamat Kebijakan Publik dan Sosial Sumsel, Dr Muhammad Husni Thamrin MSi mengatakan, over kapasitas di lapas atau rutan mencerminkan berbagai persoalan yang cukup komplek. Menurutnya, kondisi itu bukan hanya tentang fisik bangunan yang terbatas dan tak jarang kurang memadai. Tapi mencakup persoalan kebijakan, pengawasan, dan integritas dalam pengelolaan rutan maupun lapas.
BACA JUGA:Perekrutan Tenaga Kerja hingga Berdayakan Pengusaha Lokal, Paslon Sampaikan Program Unggulan
BACA JUGA:Sumsel Urutan Ke-2 Kredit Macet Pinjol
"Kelebihan penghuni di lapas banyak dipicu oleh kebijakan hukum yang terlalu mengutamakan pemenjaraan sebagai bentuk hukuman, bahkan untuk pelanggaran ringan,"terangnya. Lanjut Husni, kasus-kasus seperti pencurian kecil atau pelanggaran narkoba oleh pengguna sering kali berakhir dengan vonis penjara.
Padahal sebenarnya pelaku lebih membutuhkan rehabilitasi atau bentuk hukuman alternatif seperti kerja sosial. "Pilihan pemenjaraan ini semakin memperparah jumlah penghuni lapas, terutama karena banyak penghuni rutan atau lapas yang masih berstatus tahanan sementara. Lambatnya proses peradilan juga turut memperpanjang waktu mereka mendekam di penjara, sehingga membuat rutan atau lapas penuh sesak,"terangnya.
Di sisi lain, infrastruktur lapas yang terbatas menjadi persoalan serius. Banyak rutan atau lapas yang dibangun puluhan tahun lalu. Tidak mengalami pengembangan kapasitas. Sementara jumlah tahanan dan napi terus bertambah setiap tahun. "Pemerintah tampaknya belum memberikan perhatian penuh terhadap kebutuhan pembaruan infrastruktur ini, sehingga lapas sering kali dihuni hingga berkali-kali lipat dari kapasitas normalnya,” bebernya.
Kondisi semacam ini tidak hanya menimbulkan masalah fisik, seperti ruang gerak yang sempit dan kurangnya fasilitas kesehatan. Tapi juga menciptakan tekanan psikologis bagi para narapidana, yang berujung pada meningkatnya potensi konflik atau pelanggaran.
BACA JUGA:Mengapa Tupperware Alami Kebangkrutan? Ini 4 Penyebab Utamanya!
BACA JUGA:Kematian Irrohmin di Rutan Pakjo, Terkuak karena Kekerasan, Bukan Sakit
“Peredaran narkoba di dalam rutan atau lapas, bahkan sampai adanya pesta narkoba, menunjukkan bahwa sistem pengawasan di rutan atau lapas masih sangat lemah. Hal ini sering kali disebabkan oleh jumlah petugas lapas yang tidak sebanding dengan jumlah tahanan atau napi, sehingga pengawasan menjadi tidak maksimal,” imbuh Husni.
Lebih parah lagi, ada oknum petugas yang terlibat dalam penyelundupan narkoba ke dalam rutan atau lapas dengan menerima suap dari napi. Situasi ini diperburuk oleh jaringan narkoba yang terus beroperasi meskipun pelaku utamanya sedang di penjara. “Bahkan, beberapa pengendali jaringan narkoba besar diketahui menjalankan operasinya dari balik jeruji besi, menunjukkan bahwa hukuman penjara tidak menghentikan aktivitas mereka," cetusnya.