Dengan pendekatan yang seimbang dan terencana, inovasi TIK dalam PAI dapat menjadi alat yang efektif untuk memperkuat pemahaman agama di era digital, tanpa kehilangan nilai-nilai tradisional yang mendalam dan reflektif.
Mengintegrasikan tradisi dan teknologi dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) menghadirkan dinamika baru yang potensial dalam memberikan pemahaman agama kepada generasi muda yang telah akrab dengan dunia digital.
Pendidikan agama berfungsi untuk membentuk karakter dan menanamkan nilai-nilai Islam yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah, yang secara tradisional sering disampaikan melalui metode ceramah, diskusi langsung, dan hafalan.
Namun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) membuka peluang untuk menyampaikan nilai-nilai agama dengan cara yang lebih menarik dan relevan bagi generasi digital.
Teknologi menawarkan peluang besar untuk memperluas akses terhadap pendidikan agama Islam. Aplikasi pembelajaran Al-Qur’an dan hadis, platform e-learning, serta konten-konten edukatif di media sosial memberikan kemudahan bagi siswa untuk belajar kapan saja dan di mana saja.
Pendekatan ini tidak hanya menjadikan pendidikan agama lebih fleksibel, tetapi juga memungkinkan lebih banyak siswa dari berbagai latar belakang untuk mengakses materi agama.
Di satu sisi, hal ini adalah langkah positif yang memungkinkan Islam dipelajari dengan lebih mudah, sejalan dengan konteks zaman modern yang menuntut fleksibilitas dan kemudahan akses.
Di sisi lain, integrasi teknologi yang berlebihan tanpa pendekatan pedagogis yang tepat dapat menurunkan kedalaman pengajaran dan bahkan mengaburkan makna inti dari ajaran agama.
Salah satu tantangan utama dalam menggabungkan teknologi dengan tradisi PAI adalah menjaga kedalaman dan konteks nilai-nilai Islam yang diajarkan.
Pendidikan agama bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi juga pengembangan karakter yang memerlukan interaksi langsung antara guru dan siswa. Pembelajaran agama yang berbasis digital, seperti aplikasi atau video singkat, berisiko mengurangi kedalaman dan refleksi karena kontennya cenderung singkat dan ringkas.
Selain itu, makna-makna mendalam dalam Islam, yang umumnya membutuhkan dialog atau kajian bersama, bisa sulit ditransmisikan melalui teknologi semata.
Untuk menjaga konteks ajaran Islam tetap utuh, diperlukan bimbingan yang kuat dari guru, ustaz, atau tokoh agama yang memahami seluk-beluk ajaran tersebut. Jika tidak, ada risiko bahwa pemahaman siswa hanya bersifat dangkal dan kurang mencerminkan inti ajaran Islam.
Harus diingat teknologi, meskipun bermanfaat, juga membawa risiko. Penyalahgunaan TIK dalam pendidikan agama bisa mengarah pada misinformasi atau akses ke konten yang tidak sesuai.
Media sosial, misalnya, memungkinkan penyebaran informasi keagamaan yang cepat, tetapi tidak semua konten tersebut memiliki validitas atau dikelola oleh sumber yang kredibel. Akibatnya, siswa bisa terpapar pada informasi yang kurang tepat atau bahkan menyesatkan.
Hal ini semakin memperjelas bahwa dalam proses pembelajaran agama berbasis TIK, kemampuan untuk memverifikasi informasi menjadi sangat penting.
Selain itu, ketergantungan pada teknologi dapat mengurangi kemampuan kritis siswa dalam menyaring informasi. Akses instan ke sumber-sumber informasi dapat membuat siswa menerima informasi secara pasif tanpa benar-benar mengolahnya secara mendalam.