SUMATERAEKSPRES.ID- 30 September sebagai Hari Pemberontakan G30S/PKI bukanlah hari libur nasional dan tidak ditetapkan sebagai tanggal merah.
Meski merupakan tanggal penting dalam sejarah Indonesia, kegiatan pada hari tersebut biasanya melibatkan upacara, serta pengibaran bendera setengah tiang.
Peristiwa G30S/PKI memiliki dampak yang sangat besar dan luas terhadap Indonesia, baik dari segi politik, sosial, maupun ekonomi.
Berikut beberapa dampak utamanya:
• Perubahan Kepemimpinan: Peristiwa ini menandai berakhirnya era Presiden Soekarno dan awal dari pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto selama lebih dari tiga dekade.
BACA JUGA:G30S PKI, Kudeta Berdarah yang Mengguncang Serta Mengubah Arah Sejarah Indonesia
• Pembersihan PKI: Setelah peristiwa ini, terjadi pembersihan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI. Ratusan ribu hingga jutaan orang ditangkap, dipenjara, atau dibunuh dalam operasi yang dikenal sebagai “pembersihan anti-PKI”.
• Perubahan Kebijakan Politik: Pemerintahan Orde Baru menerapkan kebijakan yang sangat berbeda dari era Soekarno, dengan fokus pada stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Kebijakan ini termasuk pembatasan kebebasan politik dan pengawasan ketat terhadap aktivitas politik.
• Trauma Sosial: Peristiwa ini meninggalkan trauma mendalam bagi banyak keluarga yang anggotanya menjadi korban. Hingga kini, peristiwa ini masih menjadi topik sensitif dan kontroversial di Indonesia.
• Hubungan Internasional: Peristiwa ini juga mempengaruhi hubungan internasional Indonesia, terutama dengan negara-negara yang dianggap mendukung komunisme. Indonesia menjadi lebih dekat dengan negara-negara Barat dan menjauh dari blok komunis.
BACA JUGA:Gandeng APKI, Pusat Kebugaran Ten Fit Tingkatkan Kualitas dan Profesionalitas Fitness Trainer
Peringatan G30S/PKI mengingatkan kita pada peristiwa tragis yang terjadi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 di Indonesia. Pada malam itu, sekelompok militer yang menamakan diri Gerakan 30 September (G30S) menculik dan membunuh enam jenderal serta beberapa perwira Angkatan Darat.
Peristiwa ini kemudian diikuti oleh tindakan balasan dari militer yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto, yang akhirnya menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang di balik kudeta tersebut.