Pada periode ini, agama seringkali diintegrasikan dengan cara yang dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip Pancasila yang lebihsekuler, menimbulkan ketegangan antara kelompok agama dan pemerintah.
Sebagaimana dijelaskan oleh R. William Liddle dalam Muslim and Modernity: The Indonesian Experience (1996), "Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa interpretasi Pancasila seringkali menjadi alat untuk menegakkan control politik dan sosial, yang kadang-kadang berkonflik dengan ekspresi agama yang lebih bebas.
" Liddle menyoroti bahwa pendekatan ini menyebabkan beberapa kelompok merasa terpinggirkan dan menganggap bahwa prinsip-prinsip Pancasila digunakan untuk membatasi kebebasan beragama.
Pada era Reformasi setelah 1998, terdapat upaya untuk mengembalikan dan menegakkan hak-hak kebebasan beragama, namun ketegangan masih sering terjadi.
Diskusi tentang hubungan antara agama dan Pancasila tetap menjadi isu penting dalam politik dan sosial Indonesia.
Kurniawati H. dalam Religion and the State in Modern Indonesia (2018) mencatat bahwa "Reformasi membawa perubahan dalam cara agama diposisikan dalam hubungannya dengan Pancasila, mengarah pada upaya untuk menyeimbangkan kembali antara keduanya dalam konteks demokrasi dan pluralisme."
Di masa kontemporer, hubungan antara agama dan Pancasila terus menjadi topic perdebatan dan refleksi.
Sebagian besar argument berfokus pada bagaimana agama dapat berfungsi dalam kerangka Pancasila tanpa mengancam prinsip-prinsip dasar negara.
Banyak yang berpendapat bahwa dengan pendekatan inklusif dan moderat, agama dapat memperkuat nilai-nilai Pancasila seperti toleransi, persatuan, dan keadilan sosial.
Sementara itu, beberapa kelompok agama mungkin merasa bahwa prinsip-prinsip Pancasila tidak selalu diterapkan secara adil atau tidak cukup mempertimbangkan sensitivitas agama tertentu.
Sebagai contoh, tulisan oleh Greg Fealy dalam Islam and the State in Indonesia (2007) menggarisbawahi bahwa "Perdebatan tentang hubungan antara agama dan Pancasila menunjukkan bahwa meskipun Pancasila di desain untuk mengakomodasi keberagaman, tantangan implementasi dan interpretasi seringkali masih menyebabkan ketegangan."
Pernyataan Yudian Wahyudi, yang disampaikan pada 2020, mengklaim bahwa agama berpotensi mengancam Pancasila jika tidak dipahami dan diterima dalam konteks ideologi negara.
Ia menekankan pentingnya pemahaman yang benar tentang Pancasila untuk memastikan bahwa agama tidak menjadi pemicu konflik atau perpecahan di Indonesia (Wahyudi, 2020).
Pernyataan ini merujuk pada kekhawatiran bahwa interpretasi agama yang ekstrem dapat mengganggu kerukunan sosial dan merusak prinsip-prinsip Pancasila sebagai dasar negara.
Namun, pernyataan ini mengundang kritik dari berbagai kalangan, terutama karena Indonesia adalah negara yang mendasarkan konstitusinya pada prinsip-prinsip pluralisme dan toleransi, yang juga merupakan bagian dari Pancasila.
Dalam konteksini, penting untuk mengevaluasi apakah agama benar-benar merupakan ancaman bagi Pancasila atau apakah sebaliknya, masalah tersebut lebih terkait dengan bagaimana agama diinterpretasikan dan diterapkan dalam masyarakat.