Sebagian ulama Hanafi dan Syafi’i lainnya menganggap bermain catur sebagai makruh, artinya permainan ini sebaiknya dihindari, meskipun tidak diharamkan. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin.
3. Mazhab Maliki dan Hanbali
Ulama dari mazhab Maliki dan Hanbali lebih tegas dengan mengharamkan permainan catur. Ini juga merupakan pandangan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas. Mereka berpendapat bahwa bermain catur termasuk dalam perbuatan sia-sia dan batil, yang sebaiknya dihindari oleh umat Islam.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan:
َإِنَّهُ نَصٌّ عَلَى إِبَاحَةِ لَعْبِ الشِّطْرَنْجِ
“Bahwa hal itu merupakan nash (dalil) atas kebolehan bermain catur” (Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, juz 2, h. 121).
Syekh Abdullah bin Ahmad An-Nasyafi juga menyebutkan:
إِنَّ اللَّعْبَ بِالنَّرْدِ مُبْطِلٌ لِلْعَدَالَةِ بِخِلَافِ الشِّطْرَنْجِ، لِأَنَّ لِلْاِجْتِهَادِ فِيْهِ مُسَاغًا لِقَوْلِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِي بِإِبَاحَتِهِ، وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ أَبِي يُوْسُفَ
“Sesungguhnya bermain dadu membatalkan (menghilangkan) sifat adil, berbeda dengan bermain catur. Sebab, hukum bermain catur merupakan lahan ijtihad, di mana imam Malik dan imam Syafi’i menyatakan kebolehannya. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Yusuf.” (Lihat: Abdullah bin Ahmad An-Nasyafi, Al-Bahrur Raiq, juz 7, h. 154).
Tidak jauh berbeda dengan An-Nasyafi, Syekh Ibnu Qudamah menuturkan:
وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ إلَى إبَاحَتِهِ وَحَكَى ذَلِكَ أَصْحَابُهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ
“Imam Syafi’i memilih kebolehan bermain catur. Dan para sahabat Syafi’i menceritakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat Abu Hurairah, Said Ibni Musayyib, dan Said Ibni Jubair” (Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 23, h. 178).
Kedua, menurut sebagian ulama mazhab Hanafi yang lain, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i yang lain, bermain catur hukumnya makruh. Imam Al-Qurthubi menuliskan:
وَقَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ: يُكْرَهُ الشِّطْرَنْجُ وَالنَّرْدُ
“Imam Abu Hanifah berkata: Dimakruhkan bermain catur dan dadu” (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, juz 10, h. 494).
Sedangkan, Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin menuturkan:
اَللَّعْبُ بِالشِّطْرَنْجِ مَكْرُوْهٌ، وَقِيْلَ: مُبَاحٌ لَا كَرَاهَةَ فِيْهِ
“Bermain catur hukumnya makruh. Dan dikatakan: Hukumnya mubah, tidak makruh” (Yahya bin Sharaf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz 8, h. 203).
Ketiga, ulama mazhab Maliki dan ulama mazhab Hanbali menegaskan bahwa bermain catur hukumnya haram. Ini juga merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Salim dan Urwah. Imam Al-Qurthubi menulis:
سُئِلَ – يَعْنِي مَالِكٌ – عَنِ اللَّعْبِ بِالشِّطْرَنْجِ، فَقَالَ: لَا خَيْرَ فِيْهِ، وَهُوَ مِنَ الْبَاطِلِ
“Imam Malik ditanya tentang hukum bermain catur, beliau menjawab: Tidak ada kebaikan di dalamnya. Ia termasuk hal sia-sia,” (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, juz 10, h. 493).
Seirama dengan Al-Qurthubi, Imam Ibnu Rusyd juga menulis:
سُئِلَ – يَعْنِي مَالِكٌ – عَنِ اللَّعْبِ بِالشِّطْرَنْجِ، فَقَالَ: لَا خَيْرَ فِيْهِ، وَهُوَ مِنَ الْبَاطِلِ
“Imam Malik ditanya tentang hukum bermain catur, beliau menjawab: Tidak ada kebaikan di dalamnya. Ia termasuk hal batil” (Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Al-Bayan Wat Tahsil, juz 18, h. 436).
Sedangkan, Imam Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali menuturkan:
فَأَمَّا الشِّطْرَنْجُ فَهُوَ كَالنَّرْدِ فِي التَّحْرِيمِ، إلَّا أَنَّ النَّرْدَ آكَدُ مِنْهُ فِي التَّحْرِيمِ. وَذَكَرَ الْقَاضِي أَبُو الْحُسَيْنِ: مِمَّنْ ذَهَبَ إلَى تَحْرِيمِهِ؛ عَلَيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، وَابْنَ عُمَرَ، وَابْنَ عَبَّاسٍ، وَسَالِمًا، وَعُرْوَةَ
“Adapun bermain catur maka hukumnya seperti bermain dadu dalam keharamannya. Hanya saja, bermain dadu lebih diharamkan dibanding bermain catur. Qadhi Abul Husein menyebutkan: Di antara orang yang berpendapat akan keharamannya adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Salim, dan Urwah” (Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 23, h. 178).
Senada dengan Ibnu Qudamah, Syekh Al-Mardawi menerangkan:
اللَّعِبُ بِالشِّطْرَنْجِ حَرَامٌ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ
“Bermain catur hukumnya haram, menurut pendapat yang shahih dari mazhab Hanbali” (Ali bin Sulaiman Al-Mardawi, Al-Inshaf Fi Ma’rifati Al-Rajihi Minal Khilaf, juz 17, h. 333).
BACA JUGA:Raja Siliwangi: Pemimpin Bijak dari Tanah Sunda
BACA JUGA:Legenda Tan Bun An dan Siti Fatimah: Kisah Cinta dan Asal Usul Pulau Kemaro
Dengan demikian, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum bermain catur dalam Islam. Mazhab Hanafi dan sebagian Mazhab Syafi’i memperbolehkan, sebagian ulama Hanafi dan Syafi’i memakruhkannya, sementara Mazhab Maliki dan Hanbali mengharamkannya.