PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Gelaran acara Orasi Ilmiah dan Diskusi Demokrasi Hatta dan Relevansinya pada Pilkada Serentak yang diadakan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sriwijaya Palembang, berlangsung hangat.
Diinspirasi Dosen Fakultas FISIP Unsri, Dr Zulfikri Suleman, MA mendatangkan moderator serta tokoh kondang di Indonesia.
BACA JUGA:KEREN! 4.096 Mahasiswa Baru Unsri Ciptakan Mahakarya 12 Formasi Papermob di PKKMB 2024
Beberapa narasumber yang dihadirkan antara lain, tokoh politik Dr Fadli Zon. M.Sc., dosen UI, akademisi Prof Dr Meutia Farida Hatta Rajasa., Dosen Internasional Islamic University Malaysia, Prof Dr Erry Yulian T Adesta., Direktur Fordes Sumsel Bagindo Togar., dosen Fisip Universitas Andalas, Prof Dr H Asrinaldi dan moderator merupakan akademisi Saftri Elfandari. M.IKom.
Zulfikri Suleman, dalam orasi ilmiah menjelaskan kegiatan ini dalam rangka purnabakti sebagai ASN dosen FISIP Universitas Sriwijaya.
Dikatakan, identitas suatu bangsa terukur pada bangsa tersebut. Dalam bentuk pemikiran bapak bangsa Bung Hatta dan dalam teladan perilaku pemimpin terdahulu.
Dalam pandangan Hatta, ada dua demokrasi. Yakni demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dengan kutipan singkat tidak sulit mengatakan kerangka ketatanegaraan Hatta menginginkan Indonesia merdeka dengan demokrasi parlementer.
"Usaha bersama atas asas kekeluargaan. Dalam UUD dikonkretkan lagi produksi untuk semua di bawah pimpinan anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakat diutamakan bukan orang perorang dan salah satu itu koperasi," katanya yang menyatakan rakyat yang berdaulat dan berdemokrasi merupakan titik tertinggi dari demokrasi.
Dia juga mengulas ada tiga untuk membuat rakyat berdaulat. Organisasi yang baik, kader-kader dan rakyat yang insaf.
"Kader organisasi sebagai calon pemimpin dia menginginkan kader lebih militan dan bertanggung jawab. Keinginan Hatta ini sendiri sejak tahun 1820 mengusung konsep politik pendidikan untuk melawan penjajah," paparnya.
Dari kacamata politik, Zulfikri, menjelaskan parpol sebagai pragmatis dan meraih kekuasaan kecuali PDIP dan PKS.
Kedua, kader partai bukan sebagai dibayangkan Hatta dimana teguh pendirian, dan siap menghadang kesulitan. Ketiga sebagai akibat rakyat yang ikut menjadi pemilih bukan yang diimpikan Hatta.
"Yakni rakyat yang insaf secara politik. Ketika memilih masih bimbang seperti transaksional dan emosional," Zulfikti, mengutip ucapan Bagindo.