Idealnya, dalam sistem presidensial kainet yang dibentuk haruslah kabinet ahli atau sering disebut dengan zaken kabinet. Kabinet seharusnya di isi oleh para profesional dibidangnya dan tidak terlalu banyak mengandung unsur partai politik. Tapi realitasnya kabinet yang dibentuk oleh presiden di era reformasi sampai saat ini masih mengakomodasi kader partai politik yang mendukungnya pada saat pemilihan presiden.
Sulit bagi presiden untuk mencari keseimbangan jumlah posisi menteri antara partai politik dengan kaum profesional dan keseimbangan antara partai-partai politik itu sendiri. Presiden suka atau tidak suka harus mengakomodasi kepentingan partai politik sebagai imbalan dukungan kepada presiden dalam pilpres. Presiden juga membutuhkan menteri dari kalangan parpol untuk memperoleh dukungan politik parlemen. Di lain pihak presiden juga membutuhkan banyak menteri dari kalangan profesional untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang makin komplek saat ini.
Kondisi inilah yang selalu terjadi pada pembentukan kabinet yang berdasarkan pada koalisi partai politik. Pada akhirnya, kabinet banyak diisi oleh elite, pengurus partai, bahkan ketua umum partai. Tidak jarang pula terjadi konflik kepentingan karena “loyalitas ganda” para menteri terhadap kabinet atau terhadap partainya. Belum lagi, adanya inkonsistensi dukungan yang terjadi dari partai di dalam parlemen. Selain potensi konflik kepentingan, jabatan menteri yang diduduki politisi sering kali jadi sumber dana “haram” atau semacam ATM bagi partai. Pada gilirannya ini berpotensi melembagakan tindak pidana suap, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan (Syamsuddin Haris, 2019).
Kini bola ada ditangan PrabowoSubianto, apakah beliau akan membentuk kabinet ahli ataukah kabinet politik. Kita berharap agar Prabowo memiliki keberanian dan nyali politik untuk lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan partai politik atau golongan.