SUMATERAEKSPRES.ID - Prabowo Subianto telah ditetapkan oleh KPU sebagai Presiden RI terpilih periode 2024-2029.KPU juga telah menetapkan 8 partai politik yang berhasil menduduki kursi di DPR.Namun sayangnya, partai pengusung Prabowo-Gibran tidak berhasil memenangkan kursi parlemen. Partai Gerindra hanya menduduki peringkat ketiga perolehan kursi DPR.
Jumlah perolehan kursi partai koalisi pendukung Prabowo-Gibran pun tidak mampu menguasai DPR. Bagi Prabowo-Gibran kondisi tersebut dirasa akan mengganggu efektivitas jalannya pemerintahan. Berbeda dengan tiga pemilu sebelumnya ketika presiden berasal dari parpol pemenang pileg.
Untuk mengamankan pemerintahannya, Prabowo berkeinginan menggemukkan koalisi dengan melobi berbagai partai lawan politiknya. Partai Nasdem dan PKB sudah menyatakan siap bergabung, PKS sudah member sinyal menyiapkan kadernya bila diminta membantu pemerintahan. Hanya PDI-P yang sejauh ini masih konsisten untuk berada di luar pemerintahan. Partai politik anggota koalisi tentu akan meminta jatah menteri kepada presiden. Politik dagang sapi pun tak terelakkan.
Dalam konsepsi ideal system presidensial, seharusnya Prabowo tidak perlu gamang. Salah satu ciri sistem presidensial adalah presiden diberi hak prerogatif dalam membentuk dan menentukan siapa saja yang akan duduk sebagai menteri dalam kabinetnya.
Sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (1) UUD 1945, menteri adalah pembantu presiden, oleh karena itu menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Demikian juga dalam pasal 3 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mengatur, menteri selaku pimpinan kementerian berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden.
BACA JUGA: Keponakan Prabowo Subianto Dilantik sebagai Wakil Menteri Keuangan, Ini Harapan Sri Mulyani
Hak prerogatif dalam penentuan menteri ini idealnya diterapkan dalam kondisi kepartaian yang sangat sederhana (dwipartai) seperti di Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat sangat leluasa menentukan calon menteri di kabinetnya. Demikian juga di era orde baru yang menerapkan sistem multipartai terbatas (PPP, Golkar dan PDI), Presiden Soeharto juga sangat leluasa menentukan calon menteri di kabinetnya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kabinet yang dibentuk oleh Soeharto lebih bersifat kabinet ahli ketimbang kabinet politik.
Namun kini di era reformasi kita menganut sistem multipartai. Banyak pengamat mengatakan kombinasi antara sistem presidensial dengan sistem multipartai adalah kawin paksa. Dalam sistem multipartai sulit calon presiden menjadi pemenang dengan suara mayoritas Begitu terpilih presiden harus mengakomodasi kepentingan partai-partai politik yang mendukungnya. Dalam koalisi multipartai hak prerogatif presiden dalam membentuk kabinet tereduksi oleh kepentingan partai politik anggota koalisi.
Parpol pendukung presiden pasti mengharapkan kursi menteri di kabinet yang akan dibentuk presiden. Seperti bunyi ungkapan klasik, dalam politik no free lunc (tidak ada makan siang gratis). Ini artinya, parpol yang turut berkeringat dalam mengusung dan memenangkan seorang presiden (Prabowo Subianto) tentu sangat berharap ada balas jasa politik bagi partai mereka.
Prabowo pasti dibuat pusing oleh tuntutan partai politik. Masuknya Partai Nasdem tentu saja dirasa “menyakitkan” bagi Partai Demokrat yang telah dikhianati dalam penentuan calon presiden. Partai koalisi pendukung Probowo dalam pilpres tentu menghendaki jumlah kursi yang lebih banyak ketimbang partai eks lawan politik. Untuk memenuhi tuntutan partai-partai politik dalam mengisi kabinet, Prabowo terbentur oleh Pasal 15 UU Kementerian Negara yang membatasi jumlah keseluruhan kementerian paling banyak 34. Kemudian diwacanakan revisi UU Kementerian Negara dengan mengubah bunyi Pasal 34 bahwa jumlah kementerian menyesuaikan kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
BACA JUGA:Prabowo Jalani Operasi Besar, Ungkap Cedera Akibat Kecelakaan Terjun Payung
BACA JUGA:MPR Pastikan Pelantikan Presiden-Wapres RI Prabowo-Gibran Tidak di IKN Nusantara, Tetap di Senayan
Dampak Sistem Presidensial dengan Sistem Multipartai
Proses pembentukan kabinet dalam sistem multipartai memang akan diwarnai oleh tarik menarik kepentingan politik siapapun presidennnya. Padahal secara konseptual, menteri dalam sistem presidensial adalah pembantu presiden. Artinya, menteri dalam kabinet merupakan perpanjangan tangan presiden yang melaksanakan kebijakan yang telah digariskan oleh presiden. Tidak boleh ada campur tangan partai dalam rekruitmen penentuan garis-garis kebijakan dari presiden kepada menterinya. Hal ini mengingat bahwa dalam sistem presidensial, program eksekutif sepenuhnya berpatokan kepada kontrak sosial antara presiden dengan rakyat. Tidak ada ikatan kepentingan program dengan partai, walaupum presiden dicalonkan oleh koalisi partai tertentu (Muhammad Sabri S. Shinta,2012).