SUMATERA EKSPRES.ID - Di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), terdapat sebuah warisan budaya dalam bentuk bangunan tradisional yang dikenal sebagai Rumah Ulu.
Rumah panggung ini tidak hanya unik dalam bentuk dan fungsi, tetapi juga dapat bertahan hingga 200 tahun.
Pendekatan pembangunan Rumah Ulu didasarkan pada dua prinsip utama: siapa yang akan menghuni rumah dan untuk apa rumah tersebut dibangun.
"Rumah siapa" merujuk pada identitas penghuni, termasuk keturunan dan gelar, sementara "rumah untuk apa" menentukan fungsi bangunan, apakah untuk tempat tinggal, tempat singgah, atau tujuan lainnya.
BACA JUGA:Berencana Pulang, Rumah Terbakar. Pemilik Masih di Bogor Hadiri Akikah Cucu
BACA JUGA:Duh, Rumah Ludes Terbakar Saat Pemilik Pulang Kampung, Kerugian Capai Ratusan Juta Rupiah
Struktur sosial masyarakat tercermin dalam desain lantai Rumah Ulu. Untuk rakyat biasa, lantai rumah biasanya rata.
Namun, bagi keturunan bangsawan, lantai dibangun bertingkat: tingkat pertama untuk keturunan pangeran, tingkat kedua untuk orang yang memiliki marga, dan tingkat ketiga untuk rakyat biasa.
Selain itu, Rumah Ulu milik rakyat biasa jarang memiliki sake penjuhu, sementara rumah bangsawan memiliki empat sake penjuhu di dalamnya.
Rumah Ulu keturunan bangsawan juga dibedakan dengan ukiran rumahnya yang penuh dengan motif keemasan, sedangkan rumah rakyat biasa biasanya minim ukiran.
BACA JUGA:Perampokan Toko Emas, Pelaku Pakai Helm dan Bawa Senpi, Pecahkan Etalase. Beraksi Hitungan Menit
BACA JUGA:Percepat Perekaman e-KTP Pemilih Pemula
Di OKU, terdapat juga bangunan tua lainnya yang dikenal sebagai "Humah Bahi". Salah satu contohnya dapat ditemukan di Dusun Mendala, Kecamatan Peninjauan.
Bangunan ini konon telah berdiri sejak zaman Belanda, sekitar tahun 1800-an.
Menurut video YouTube Budiriyanto, mantan Kepala BPS OKU, rumah tersebut kini dikelola oleh Syamsul Bahri.