JAKARTA, SUMATERAEKSPRES.ID - Isu soal pergeseran atau pembagian kuota haji 2024 sebanyak 241.000 orang (setelah ada tambahan kuota 20.000) jemaah untuk reguler dan khusus yang jadi pemantik terbentuknya Panita Khusus (Pansus) Hak Agket oleh DPR RI, mengundang beragam tanggapan dari berbagai kalangan.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Mustolih Siradj berpendapat, bila mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 2019 terutama pada Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 64, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama tidaklah salah.
Dalam pasal tersebut, pembagian kuota haji normal atau pokok sebenarnya sudah dijalankan oleh kementerian. Termasuk pembagian tambahan kuota haji. Hal ini disampaikan
Kuota haji pokok awalnya sebanyak 221.000 jemaah. Sesuai Pasal 64, kuota itu dibagi menjadi dua, yakni untuk jemaah haji reguler sebanyak 203.320 orang setara 92 persen, sementara jemaah haji khusus sebanyak 17.680 atau setara 8 persen.
Kemudian ada tambahan kuota sebanyak 20.000 jemaah dari Pemerintah Arab Saudi, sehingga totalnya menjadi 241.000 jemaah. Lalu, Pasal 9 menjelaskan, untuk kuota haji tambahan selanjutnya diatur atau ditetapkan oleh menteri agama lewat Peraturan Menteri (Permen).
BACA JUGA:Kloter 15 Tiba, Tercatat 6.699 Jemaah Haji Debarkasi Palembang Sudah Kembali Ke Tanah Air
BACA JUGA:Kemenag RI Imbau Jemaah Haji Jaga Kesehatan Saat Fase Pemulangan
Sehingga, ketika kuota haji tambahan sebesar 20.000 dibagi rata, sebanyak 10.000 untuk haji reguler (menjadi 213.320) dan 10.000 untuk haji khusus (menjadi 27.680), menurut Mustolih, tidak apa-apa. “Secara regulasi Kemenag tidak menyalahi. Ngunci di situ. Dari aspek regulasi aman,” katanya.
Mustolih yang juga Ketua Komisi Nasional (Komnas) Haji dan Umroh menegaskan, persoalan haji tidak cukup masuk kategori persoalan mendesak, strategis, dan berdampak luas yang menyebabkan situasi sangat serius sehingga perlu ditangani secara komprehensif.
Hal itu bila mengacu pada Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPRD, DPD). Apalagi kemudian alasan Pansus dinarasikan gara-gara Kemenag mengabaikan kesepakatan dengan Panja DPR.
“Bobotnya kalau ditimbang ya jauh. Kemenag tidak menyalahi regulasi. Tapi kalau kemudian DPR membuat Pansus dengan alasan itu, ya boleh-boleh saja. Tapi kan tidak semua persoalan bisa dipansuskan. Harusnya cukup di Panja, dievaluasi di level-level itu,” kata dia.
Mustolih menjelaskan, secara substansial ada banyak isu lain yang lebih menggelisahkan publik dan lebih layak untuk di-Pansuskan oleh DPR. Ia mencontohkan kasus judi online, penipuan online, kemudian pencurian data pribadi, yang memang membuat gelisah publik secara masif akhir-akhir ini.BACA JUGA:Pansus Angket Haji Beraroma Politik Praktis Rivalitas Antar-Kelompok
BACA JUGA:Sebanyak 5.374 Jemaah Haji Palembang Sudah Kembali, 25 Jemaah Wafat, Ini Laporan Kemenag Sumsel!
“Lha, isu haji ini tidak mencerminkan kegelisahan publik. Tidak masif, tidak terstruktur dan tidak meluas,” kata Mustolih menambahkan.
Kemudian secara teknis, kata dia, Pansus juga dipaksa dibuka pada akhir periode. Di sisi lain, masa operasional haji belum selesai karena masih menyisakan 14 hari lagi. Kemudian nanti terbentur masa reses anggota, lalu bulan berikutnya anggota dewan baru juga sudah mulai masuk.