SULTRA, SUMATERAEKSPRES.ID - Bank Indonesia (BI) dalam upayanya mengembangkan ekonomi syariah (eksyar) di Kawasan Timur Indonesia (KTI) menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diatasi secara menyeluruh.
Deputi Gubernur BI, Juda Agung, menyoroti empat hal utama yang menjadi penghambat kemajuan eksyar.
Pertama, ketergantungan tinggi terhadap bahan baku halal impor seperti pangan non-sertifikasi halal. Kedua, keterbatasan inovasi di sektor keuangan syariah karena basis investor yang belum kuat.
Ketiga, potensi pasar dalam negeri yang besar namun belum sepenuhnya dimanfaatkan, terutama dalam konteks Indonesia sebagai pusat modest fashion global.
BACA JUGA:Pemerintah Lakukan Penguatan Kelembagaan KNEKS Dukung Ekonomi Syariah Indonesia
BACA JUGA:Bank Indonesia Pastikan Pertumbuhan Kredit 2024 Masih Positif, Pembiayaan Syariah juga Meningkat
Keempat, tingkat literasi produk dan ekonomi syariah yang masih rendah, hanya mencapai 28% saat ini.
Menyikapi tantangan ini, BI telah merumuskan enam fokus strategis untuk mengembangkan eksyar di KTI.
Fokus tersebut meliputi akselerasi sertifikasi halal dalam ekosistem makanan, dukungan terhadap desainer dan pengusaha modest fashion.
Lalu penguatan ekonomi pesantren, kebijakan dan instrumen keuangan syariah, digitalisasi melalui aplikasi Satu Wakaf Indonesia, serta peningkatan literasi dan edukasi ekonomi syariah.
BACA JUGA:Danasyariah Dan Bank Albarokah Kerjasama Fokus Deposito properti
Acara FESyar bukan sekadar forum diskusi, tetapi juga sebagai wadah sinergi dan kolaborasi antarstakeholder dalam mengembangkan eksyar di KTI.
Menurut Deputi Gubernur Juda, target BI adalah meningkatkan literasi ekonomi syariah dari 28% menjadi 50% pada tahun 2025.
Pada sisi lain, Pj. Gubernur Sulawesi Tenggara yang diwakili oleh Sekretaris Daerah, Asrun Lio, menggarisbawahi pentingnya pemanfaatan potensi ekonomi syariah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.