RAFAH, SUMATERAEKSPRES.ID - Militer zionis mengklaim telah menguasai seluruh perbatasan Gaza dengan Mesir yang dikenal sebagai Koridor Philadelphi. Ini menandakan bahwa Israel telah memperdalam invasi darat meskipun bertubi-tubi mendapat kecaman internasional.
Dilansir Al Jazeera, aksi tentara zionis diyakini akan semakin mengancam posisi Mesir dan memperumit hubungan kedua negara. Militer Israel juga terus melakukan serangan udara dan penembakan artileri ke kota Rafah.
BACA JUGA:Kisah Perjuangan Palestina untuk Mempertahankan Tanah Air Mereka
BACA JUGA:Bela Rakyat Gaza-Palestina, Ini Pesan Penting Presiden Iran Sebelum Alami Insiden Helikopter
Pada saat yang sama, mereka secara diam-diam mengambil alih Koridor Philadelphi yang tampaknya merupakan bagian dari strategi mereka untuk membangun zona penyangga, sebuah wilayah demiliterisasi di perbatasan Mesir.
“Kami melihat kedalaman setidaknya 1 km (0,6 mil), yang membentang dari bagian utara Koridor Philadelphi hingga kota Rafah,” jelas jurnalis Al Jazeera Hani Mahmoud.
Artinya, sebagian besar bangunan tempat tinggal dan fasilitas umum di sana, termasuk sekolah, rumah sakit, dan klinik milik swasta, akan dihancurkan demi kawasan demiliterisasi ini.
Tamer Qarmout, asisten profesor kebijakan publik di Institut Studi Pascasarjana Doha, berbicara kepada Al Jazeera tentang pengumuman militer Israel tersebut .
Dia mengatakan langkah ini menandakan ' ' garis merah ' 'bagi pemerintah Mesir, dan menambahkan bahwa mereka khawatir tentang dampaknya terhadap perjanjian perdamaian Camp David dengan Israel.
“Israel telah melewati banyak garis merah yang ditetapkan oleh komunitas internasional, dan kegagalan Amerika Serikat untuk menghentikannya telah membuat Israel diunggulkan dalam perang tersebut,” jelas Tamer.
Dia mengatakan, perebutan Koridor Philadelphi menandakan babak baru yang kemungkinan akan mengarah pada kehadiran panjang pasukan Israel di Gaza dan pendudukan kembali Jalur Gaza.
Pada saat yang sama, militer Israel mengatakan saat ini mereka sedang melakukan operasi di Gaza utara, tengah dan selatan. Ini termasuk Rafah, wilayah dimana ICJ telah memerintahkan Israel untuk menghentikan operasi militer.
Penderitaan warga Gaza pun semakin pilu. Anak-anak putus sekolah dan tinggal di tempat penampungan yang penuh sesak. Komite Penyelamatan Internasional menyebut, anak-anak di Gaza menghadapi peningkatan risiko kekerasan, eksploitasi dan pelecehan.
“Mereka tidak hanya tidak mendapatkan masa kanak-kanaknya, tapi juga mengalami trauma yang luar biasa,” kata Ulrike Julia Wendt, koordinator perlindungan anak darurat IRC.
Dia menambahkan, anak perempuan berisiko menjadi sasaran pernikahan dini atau pernikahan paksa. Hal itu menjadi resiko peperangan yang berlangsung lama.