SUMATERAEKSPRES.ID - Dahulu, istilah "dukun" merujuk pada individu yang mahir dalam praktik-praktik supranatural untuk mengobati dan membantu sesama.
Terdapat beragam kegunaan positif untuk kata ini, seperti dukun beranak, dukun patah, dan lain-lain. Namun, mengapa belakangan ini istilah ini telah menjadi tabu dan negatif?
Penelusuran menunjukkan bahwa perubahan persepsi terhadap istilah "dukun" tidak terlepas dari campur tangan penjajah dan pemerintah.
Mereka secara aktif mempromosikan asosiasi negatif dengan kata tersebut, terutama dalam konteks medis, di mana dokter, perawat, dan bidan sekarang dianggap sebagai "dukun moderen" yang lebih diterima secara sosial.
BACA JUGA:'Perang Sarung' di Lubuklinggau Makin Parah, Kekhusukan Ramadan Terganggu, Apa Tindakan Polisi?
Konsekuensinya, citra dukun tradisional semakin terpinggirkan dan dianggap sebagai hal yang negatif.
Padahal, peran mereka di masa lalu sangat penting.
Mereka membantu tanpa pamrih, mengandalkan pengetahuan dan pengalaman turun-temurun serta bahan obat tradisional yang mereka peroleh dari alam.
Tanpa dukun, mungkin banyak ibu hamil yang harus melahirkan tanpa bantuan, atau orang sakit yang harus mencari obat tanpa pengetahuan tentang tanaman obat yang tepat.
Namun, sekarang istilah "dukun" semakin terkait dengan praktisi spiritual, yang menghasilkan asosiasi negatif seperti "dukun cabul" atau "dukun sesat".
BACA JUGA:Mengoptimalkan Lahan Kosong: Imi Dia Panduan Praktis Menanam Jagung untuk Pemula, Gampang Kok!
BACA JUGA:Heboh Selingkuh: Suami Dilabrak Istri Sah di Bedeng Ijo, Begini Ceritanya!
Sejarawan dari Institut Agama Islam Negeri Surakarta, Martina Safitri, menjelaskan bahwa dahulu kata "dukun" merujuk pada ahli pengobatan dan sains, bukan praktisi supranatural.
"Namun, dalam kamus Netherland Van Indie tahun 1917, istilah tersebut hanya digambarkan sebagai individu dengan kekuatan magis dan spiritual, bukan sebagai ahli kesehatan,"jelasnya.