Food Estate

Selasa 27 Feb 2024 - 11:42 WIB
Reporter : Oleh: Dahlan Iskan
Editor : Martha

Intensifikasi atau food estate? Tergantung tujuannya. Untuk  jangka pendek: intensifikasi. Kalau jangka panjang: food estate.

Untuk jangka SANGAT pendek –mengatasi kenaikan harga beras yang tertinggi saat ini: impor.  Atau bukan semua itu.

Yang diperlukan mungkin lebih serius dari itu: mengubah tata cara budidaya padi kita. Dari perseorangan ke pertanian kelompok. Pertanian padi kolektif. Dikelola secara korporasi.

Itu tidak ada dalam debat program capres yang lalu. Tapi persoalan beras kita akan terus semakin rawan. Mulut kian banyak. Tenaga kerja kian berkurang.

BACA JUGA:Beras Bansos

BACA JUGA: Madura Kaili

Sesekali jadilah petani padi: begitu sulit mendapat tenaga kerja di sawah. Tenaga pengolah tanah. Pun sampai tenaga panen.

Memang sudah banyak sapi yang dijual: dibelikan traktor. Tapi si pemilik traktor jadwalnya juga penuh. Akibatnya: sulit mengolah tanah tepat waktu. Tergantung jadwal traktor.

Tenaga tanam? Lebih sulit lagi. Mesin tanam padi? Perkembangannya sangat tidak menggembirakan.

Waktu 10 tahun seperti lewat begitu saja. Di teknologi lain dalam waktu 10 tahun perkembangannya sudah sangat maju. Di mesin tanam seperti jalan di tempat. Bahkan mundur.

BACA JUGA:Hilirisasi Rudi

BACA JUGA:Solusi Sapi

Pabrik mesin tanam yang di Mlilir, dekat Ponorogo, itu misalnya. Bukan saja tidak berkembang. Justru tutup.

Dua kali saya pernah ke sana. Zaman ITU. Saya dorong ia untuk terus berkembang --lewat order dan order. Lima tahun kemudian saya ke sana lagi. Sebagai orang biasa. Saya hanya bisa mengelus dada.

Mesin panen pun tidak berkembang semestinya.

Dari kacamata petani, harga beras Rp 18.500 sekarang adalah harga bagus. Belum sangat bagus. Baru  bisa menutupi biaya-biaya yang kian mahal. Termasuk pupuk dan terutama tenaga kerja.

BACA JUGA:Kaca Spion

BACA JUGA:Bukan Bintang

Bagi petani yang minggu ini bisa mulai panen, tentu sempat menikmati harga bagus tersebut. Misalnya di beberapa tempat di Sragen.

Sudah ada pedagang yang mau membeli GKP Rp 8.000/kg. Anda sudah tahu GKP: Gabah Kering Panen. Yakni gabah dari padi yang sudah tua. Sudah waktunya dipanen. Belum dijemur.

Dengan harga beli GKP setinggi itu, maka tidak mungkin harga beras bisa di bawah Rp 18.000/kg. Anda kan sudah hafal rumusnya: satu kuintal GKP akan menjadi 50 kg beras.

Saya hubungi tokoh petani di Sragen kemarin sore. Saya kaget: seminggu lagi sudah ada yang panen di sana. Alhamdulillah. Berarti akhir bulan depan sudah panen raya.

BACA JUGA:Quick Count

BACA JUGA: Saling Sepak

Tidak sampai dua bulan lagi seperti yang saya perkirakan di Disway kemarin. Maka harga tinggi saat ini adalah persoalan jangka sangat pendek. Harga beras segera turun --satu bulan lagi.

Pedagang yang telanjur membeli GKP Rp 8.000 akan tetap jual beras sekitar Rp 18.000. Sebulan ke depan. Kejar laba jangka pendek.

Setelah itu harga beras turun.  Persoalan mendasar pertanian beras kita pun akan dilupakan lagi.

Saya tidak tahu seberapa tertarik presiden baru kita --atau wakilnya-- memulai cara baru sistem pertanian kita: sistem kelompok korporasi.

BACA JUGA:Tanpa Megawati

BACA JUGA:Nomor Dua

Baiknya memang diuji coba dulu di Jawa. Tiap satu kabupaten satu SKK. Kalau hasilnya baik langsung dikembangkan.

Caranya: dimulai dari pembentukan kelompok tani berdasar hamparan lahan. Satu kelompok 300 hektare. Di satu hamparan. Lahan itu mungkin milik 600 atau 700 petani.

Petani tersebut menyerahkan lahan mereka ke pengurus kelompok. Untuk digarap oleh pengurus kelompok. Daripada dikerjakan sendiri-sendiri secara tidak efisien. Petani pemilik tanah boleh bekerja di situ: dibayar oleh kelompok.

Maka sawah 300 hektare tersebut diolah secara modern: mekanisasi pertanian. Jadwal garap, jadwal pembibitan, jadwal tanam, jarak tanam, pemupukan, perawatan;  semua dilakukan secara ilmiah. Disiplin tinggi.

Kategori :