SUMATERAEKSPRES.ID - Beladiri di tanah Palembang memiliki keunikan tersendiri. Serangan yang mematikan, tangkisan yang cepat, dan keahlian menggunakan senjata tajam atau tangan kosong dikenal dengan sebutan Kuntau.
Kuntau Samaniyyah, begitulah seni beladiri khas Palembang dan Sumatera Selatan pada umumnya. Kehadiran seni beladiri ini diyakini sudah mengakar sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam.
Pada masa penjajahan, para prajurit atau masyarakat yang mahir dalam Kuntau dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari besi bercabang hingga pisau bermata dua, untuk melawan penindasan yang mereka hadapi.
Namun, Kuntau tidak hanya sekadar keterampilan bertarung. Ia juga mengajarkan kepatuhan dalam beribadah dan pengendalian diri dari nafsu dan kemarahan.
BACA JUGA:Sejarah Pencak Silat di Indonesia, Perkembangannya Mulai Abad ke-7 Masehi
Seni bela diri tradisional Kuntau Samaniyyah memiliki nilai-nilai yang mendalam. Selain meningkatkan kedisiplinan, juga mengajarkan rendah hati dan kebijaksanaan dalam menggunakan kekuatan.
Meski hanya beberapa bulan dipelajari, Kuntau tidak hanya mampu menjatuhkan lawan, namun juga dapat mematikan dalam situasi gelap tanpa cahaya.
Gerakan dalam Kuntau Samaniyyah tidak hanya unik dan indah, namun juga efektif dan bertenaga. Dipadukan dengan keahlian alam, gerakan-gerakan ini menjadi senjata ampuh para pesilat Palembang.
Mereka tidak gentar menghadapi musuh, bahkan dengan senjata modern sekalipun.
BACA JUGA:Wajib Pulang, Kumpul Keluarga, Tanpa Open House, Fokus Silaturahmi dan Ibadah
BACA JUGA:Yuk! Pahami Konteks Silaturahmi Dalam Perspektif Islam
Menurut K. Anwar Beck, seniman Palembang, Kuntau diperkenalkan oleh para imigran dari Tiongkok pada masa Kesultanan Palembang Darussalam.
Namun, ada juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa Kuntau awalnya dibawa oleh ulama besar dari Timur Tengah.
Kuntau secara harfiah berasal dari bahasa Hokkien yang berarti "jalan kepalan," atau lebih tepatnya "pertempuran seni."