Ukuran buah cempokak biasanya lebih besar dibandingkan buah leunca. Buah cempokak bila matang berwarna kuning, sedangkan buah leunca bila matang berwarna hitam keunguan.
Dari segi rasa, cempokak lebih pahit dan menyengat dibandingkan buah leunca. Karena hanya sedikit orang yang menanamnya, cempokak jarang terlihat di pasaran.
Kalaupun ada penjualnya, biasanya jumlahnya sedikit dan tidak tersedia setiap hari.
Selain dimakan, buah cempokak juga bisa ditumis, dilodeh, dicampur sayur lain.
Meskipun dapat dikonsumsi, mereka yang sensitif terhadap glikoalkaloid harus berhati-hati.
Bila dikonsumsi dalam dosis tinggi, glikoalkaloid dapat menyebabkan gejala pencernaan dan neurologis yang tidak menyenangkan, seperti mual, sakit perut, diare, dan pusing.
Namun, konsentrasi glikoalkaloid yang terdapat pada buah cempokak secara alami menurun seiring dengan pemasakan.
Oleh karena itu, bagi mereka yang sensitif terhadap glikoalkaloid, jauh lebih aman mengonsumsi buah cempokak yang sudah matang saja.
Tekstur leunca lebih lembut dan warnanya hijau cerah.
Saat leunca matang, warnanya berubah menjadi ungu.
Cempokak walaupun tekstur cangkangnya keras, namun warnanya hijau kusam.
Jika terlalu matang warnanya menjadi kuning dan tergolong tumbuhan liar.
Leunca mentah sering dikonsumsi sebagai lalapan atau karedok.
Orang Sunda sering menyantap leunca sebagai “sambal” untuk sambal.
Masyarakat Sunda menganggap leunca adalah sayuran segar yang dapat menambah nafsu makan.
Rasa leunca mirip dengan terong bulat namun sedikit lebih gelap dan lebih pahit.
Leunca sering disantap dengan ikan goreng asin, sambal, ayam goreng, atau ikan goreng.